SEKILAS TENTANG IJTIHAD
Tajdid atau pembararuan
yang paling mendasar bagi Muhammadiyah adalah pandangan tentang larangan
bertaklid buta dan terbukanya kembali pintu ijtihad setelah sebelumnya
dikatakan pintu ijtihad tertutup. Oleh karena itu, ijtihad merupakan dasar begi
pembaharuan di segala bidang.
Secara bahasa, ijtihad
berarti antara lain “sesungguhnya”, mencurahkan segala kemampuan dan menanggung
beban”. Secara istilah ulama berkata pendapat . Al-Ghazali mengatakan bahwa
ijtihad adalah:
بذا المجتهد وسعة فى طلب العلم بالأحكام الشرعية
Rumusan definisi
tersebut lebih bersifat umum. Namun dengan ungkapan basl al mujtahid wus’ahu
menunjukkan bahwa ijtihad hanya
mengenai hal-hal yang bersifat zanni. {pertanyaan itu di dukung oleh
rumusan definisi yang dikemukakan oleh Al Amidi yakni:
إستفراغ الوسع فى طلب الظن بشئ
من الأحكام الشرعية على وجه يحس من النفس العجز عن المزيد فيه.
Berdasarkan difinisi
tersebut dipahami bahwa lapangan ijtihad hanya terbatas pada mengeluarkan hukum
syara’ yang bersifat praktis dalam peringkat zanni, sementara Yusuf
Qardawi, seorang ulama yang kontemporer, tidak membatasi lapangan ijtihad
dengan tema hukum syara’ tetapi ijtihad dapat berbentuk perundang-undangan,
fatwa dan penelitian. Ijtihad dalam keluarga dan kemudian diikuti pertama kali
di Turki yaitu tentang hukum keluarga dan kemudian diikuti oleh pemerintah
Mesir. Ijtihad dalam bentuk fatwa dilakukan secara kolektif dengan melibatkan
beberapa individu yang memiliki disiplin ilmu beragam seperti masalah-masalah
kontenporer, sedang ijtihad dalam masalah penelitian muncul melalui tesis,
disertai dan buku-buku ilmiah.
Jika dicermati pendapat
diatas, tampaknya Qardawi tidak ketat berpegang pada syarat-syarat mujtahid
yang telah dirumuskan oleh ahli Usul Fiqih. Muhammad Tiwana mengemukakan
syarat-syarat mujtadid dalam empat ketegori, yaitu:
1.
‘Ammah (umum) meliputi Islam, Baligh, berakal, laki-laki merdeka dan paham
sesuatu dengan baik.
2.
Hammah (penting) meliputi antara lain mengetahui bahasa arab dengan baik,
menguasai logika dan mengetahui Al-Bara”ah al-asliyah.
3.
Asasiyah, meliputi pengetahuan tentang Al-Qur'an dan ilmu pengetahuan tentang
hadits dan ilmu-ilmunya, pengetahuan tentang maqasid al-syari’ah dan qawa’
al-kiliyah.
4.
Takmiliyah (pendukung) meliputi mengetahuan tentang dalil-dalil Qat’i dan zanni
mengetahui masalah-masalah ijma’ dan perbedaan-perbadaan para ulama.
Dalam buku ijtihad
Kontemporer, Qardawi mengajukan tiga model ijtihad kontemporer yakni, Tarjih
intiqa’i, ibda’i insya’i dan integrasi intiqa’i insya’i. Ijtihas tarjih adalah
memilih pendapat yang dinilai terbaik dan termaslahat dari berbagi pendapat
yang ada dalam warisan fiqih Islam.Ijtihad insya’i adalah memilih bernagai
pendapat ulama terdahulu mengenai masalah yang dipandang lebih relevan terbaik
dan termaslahat, kemudian ditambahkan unsur-unsur baru di dalamnya, misalnya
fatwa tentang abortus.
Dalam Putusan Munas
Tarjih XXIV Majlis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam Pimpinan Pusat
Muhammadiyah dinyatakan bahwa ijtihad adalah “mencurahkan segenap kemampuan
berfikir dalam menggali dan merumuskan ajaran Islam bailk bidang, aqidah,
filsafat, tasawuf maupun disiplin ilmu lainnya berdasarkan wahyu dengan
pendekatan tertentu. Adapun model atau lebih tepatnya metode ijtihad
Muhammadiyah sebagaimana yang dipergunakan oleh majlis tarjih adalah sebagai
berikut:
1.
Ijtihad bayani : ijtihad terhadap yang mujmal, baik karena belum jelas lafal
yang dimaksud maupun karena lafal itu mengandung makna ganda mengandung arti musytarak
ataupun pengertian lafal dalam ungkapan yang konteksnya mempunyai arti yang
jumbuh (mutasyabihat) ataupun adanya beberapa dalil yang bertentangan
(ta’arud). Dalam hal yang terakhir digunakan jalan ijtihad dengan jalan tarjih
yaitu apabila tidak dapat ditempuh dengan cara jama’ dan taufiq.
2.
Ijtihad qiyasy yaitu menyeberangkan hukum yang telah ada nash-nya kepada masalah baru
yang belum ada hukumnya berdasarkan nash, karena adanya kesamaan ‘illah.
3.
Ijtihad istislahi yaitu terhadap masalah yang tidak ditunjukkan nash
sama sekali secara khusus maupun tidak adanya nash mengenai masalah yang ada
kesamaanya. Dalam masalah demikian, penetapan hukum dilakukan berdasarkan
‘illah untuk kemaslahatan.
Metode ijtihad tersebut mengalami
penyempurnaan pada Munas XXXIV di Malang yakni:
a.
Bayani (semantik) yaitu metode yang menggunakan pendekatan
kebahasaan.
b.
Ta’lili (rasionalistik) yaitu metode penetapan hukum yang menggunakan
pendekatan penalaran
c.
Istilahi (filosofis) yaitu metode penetapan hukum yang menggunakan
pendekatran kemaslahatan. Selain disebutkan metode ijtihad, juga disebutkan
pendekatan dan teknik yang digunakan. Pendekatan ijtihad terdiri atas al
tafsir al-ijtima’i al-ma’asir (hermeunetik) al-tarikkiyyah
(historis), al-susiulujiyah (sosiologis) dan al-antrufulujiyah (antropologis)
adapun tekniknya adalah Ijma’, Qiyas, Maslahah, Mursalah, dan urf.
Pada prinsip model ijtihad yang dikemukakan
oleh Qardawi dan Muhammadiyah adalah sama, masing-maing masih memiliki
keterikatan dengan ijtihad, khususnya dilihat dari metodenya. Hanya saja,
keduanya tidak mengikat diri pada madzhab tertentu dan terikat pada
syarat-syarat mujtahid, sebagaimana dikemukakan oleh ulama Usul Fiqh. Pada sisi
lain, keduanya menonjolkan pada aspek kemalahatan umat atau maqasid. Al-Sya’ah.
Muhammad Abuzahrah mengemukakan lima tingkat
mujtahid, yaitu:
- Al-Mujtahid al-mustaqil, yaitu metode yang berijtihad secara
mandiri dengan menciptakan usul fiqh atau metode ijtihad sendiri dan mampu
memenuhi semua mujtahid.
- Al-mujtahid al-muntasib, yaoitu ulama yang berijtihad dengan
menerapkan kaidah-kaidah ijtihad yang diciptakan oleh al-mujtahid
al-mustaqil. Dalam masalah pokok, pendapatnya sama dengan pendapat
al-mujtahid al-mustaqil yang diikutinya tetapi dalam masalah cabang mereka
berbeda pendapat.
- Al-mujtahid fi al mazhab, yaitu ulama yang berijtihad dengan mengistinbathkan hukum mengenai
masalah-masalah yang belum diijtihadkan oleh al-mujtahid al-mustaqil dengan
menerapkan metode dan kaidah-kaidah fiqh yang diciptakan oleh mujtahid
yang mereka ikuti.
- Al mujtahid al tarjih, yaitu ulama yang menguatkan pendapat salah
seorang mujtahid dengan cara tarjih berdasarkan kekuatan dalil atau
kemaslahatan yang sesuai dengan situasi dan
- Ulama yang membandingkan pendapat mujtahid dengan hadits lain dalam
menetapkan pendapat yang lebih shahih atau yang lebih dekat kepada sunnah.
Sedikit ada dua penelitian yang relatif berbeda mengenai
corak ijtihad Muhammadiyah, yakni Arbiyah Lubis dan Fathurrahaman Djamil. Lubis
mengatakan bahwa corak ijtihad yang dilakukan oleh Muhammadiyah dalam
masalah-masalah baru (yang belum di ijtihad ulama sebelumnya) dimasukkan ke
dalam ketegori al-mujtahid diqh al-madzhab. Alasannya, bahwa ijtihad yang
dilakukan oleh Muhammadiyah masih mempunyai keterikatan dengan yang
memungkinkan untuk sampai pada ijtihad mandiri. Adapun Djamil menyatakan bahwa
Muhammadiyah tidak mengikat dirinya dengan Imam madzhab tertentu. Namun
demikian, kemandiriannya dalam berijitihad tidak berarti melepaskan sama sekali
dari cara berfikir atau manhaj yang telah dipergunakan oleh para ahli
fiqh terdahulu. Tetapi Djamil mengakui bahwa dalam penggunakan prinsip Ijma’
dan Qiyas, Muhammadiyah mempunyai banyak kesamaan dengan Hanabillah. Di samping
itu, Muhammadiyah juga menerima dan menggunakan takwil terhadap Al-Qur'an dan
al-Sunnah untuk masalah-masalah hukum dan bukan masalah aqidah, sebagaimana
Hanabillah. Akan tetapi, pada saat yang sama Muhammadiyah juga menerima konsep intihsan
Abu Hanafiah; maslahat mursalah Imam Malik; dan Saddu al-zari’ah
Imam al Syafi’i. Dengan demikian; tegas nyata terlihat adanya keterikatan
Muhammadiyah terhadap madzhab tertentu, melainkan ia berusaha untuk menerima
dan mengembangkan manhaj istinbat yang telah dikemukakan oleh ahli fiqh
terdahulu, dari madzhab manapun pendapat atau teori itu berasal. Ini
menunjukkan bahwa Muhammadiyah tidak dapat dikategorikan sebagai mujtahid fiqh
madzhab. Ia leih mirip dengan mujtahid murajjih. Disisi lain, meskipun
mutlak atau mujtahid modern maka Muhammadiyah handaknya mengembangkan ijtihad
jama’i yang mampu menjawab berbagai persoalan-persoalan yang muncul belakangan
ini yang dikenal dengan masalah-masalah kontemporer.
0 Response to "SEKILAS TENTANG IJTIHAD"
Post a Comment