MUHAMMADIYAH DAN MASALAH KONTEMPORER
Jika mencermati
persoalan yang dibahas dalam Munas Tarjih XXIV di Malang, khusunya dalam komisi
IV yang membidangi masalah-masalah keagamaan kontemporer, maka kesan kelambatan
Muhammadiyah dalam mengantisipasi perkembangan zaman kuran tepat.
Masalah-masalah itu meliputi (1) tuntunan keluarga sakinah, (2) penanggulangan
HIV dan penyalahgunaan narkoba, (3) HAM dalam perspektif Islam, dan (4)
perdagangan saham dan valas. Namun karena masalah-masalah yang hangat itu masih
dalam pengkajian dan rekomendasi, maka kesan kelambanan itu tetap ada dan tidak
dapat di pungkiri.
Beberapa masalah
kontemporer sudah menjadi keputusan dalam HPT Muhammadiyah, meluputi bidang
kedokteran dan rekayasa manusia. Keluarga berencana, bayi tabung, dan
pencangkokan organ tubuh manusia, bidang ekonomi dan keuangan (bunga bank dan
asuransi) dan bidang sosial keagamaan (perkawinan antar agama). Disamping
menjadikan Al-Qur'an dan al-Sunnah sebagai sumber hukum Islam, Muhammadiyah
juga menggunakan metode istimbat (ijtihad dalam menetapkan hukum).
Untuk mengetahui metode
istimbat (ijtihad) yang digunakan Muhammadiyah maka perlu menguraikan beberapa
masalah kontemporer yang telah menjadi hasil putusan Tarjih mhj antara lain:
A. Keluarga Berencana
Dengan mempertimbangkan unsur maslahat dalam
konsep KB, Muhammadiyah menggunakan metode istihsan, salah satu metode istimbat
(ijtihad) yang dikemukakan oleh Abu Hanifah.
Menurut Muhammadiyah, tujuan utama perkawinan
dalam Islam adalah untuk memperoleh keturunan. Namun demikian, anjuran
Al-Qur'an dan al-Sunnah itu dapat diketahui dengan mempertimbangkan maslahat
dalam kasus keluarga tertentu yang mengalami kesulitan dalam hidupnya. Meskipun
pada dasarnya menjarangkan/membatasi kelahiran itu tidak dapat dibenarkan,
namun dalam keadaan darurat tindakan itu dapat dibenarkan. Pengecualian nash
dalam hal ini kata Djamil, hendaknya bersifat esensial (daruruyyat)
tidak bersifat dugaan semata-mata (qath’i) dan bersifat umum (kuli) yang dalam istilah ushul fiqh dinyatakan sebagai intihsan
bi al-darurat.
B. Bayi Tabung
Masalah bayi tabung
dalam pandangan Muhammadiyah sifatnya mendua, ada yang membolehkan ada yang
tidak membolehkan. Akan tetapi dengan memperhatikan metode pendekatan yang
digunakan, Muhammadiyah mempertimbangkan aspek maslahat dari sesuatu yang
bersifat darurat, maka pandangan yang pertama lebih dekat dengan predikat
“tajdid” yang disandang oleh Muhammadiyah. Menurutnya, pada dasarnya bayi
tabung itu dapat dibenarkan, sepanjang sperma dan ovum berasal dari suami istri
untuk memperoleh keturunan dan merupakan naluri bagi setiap manusia. Jika
dengan cara biasa tidak bisa maka ia harus melakukan usaha lain sampai
berhasil, namaun tetap memperhatikan norma-norma ajaran Islam.
C. Bunga Bank
Muhammadiyah menyadari
bahwa Bank merupakan lembaga keuangan yang baru, karena itu masalah bunga bank
dianggap sebagai ijtihad. Al-Qur'an dengan tegas mengharamkan riba (Q.S.
AL-Baqarah/2:275). Tetapi apakah bunga bank juga termasuk riba yang dikehendaki
Al-Qur'an dan Sunnah tentang haramnya riba mengesankan adanya “illat terjadinya
penghisapan oleh pihak yang kuat terhadap yang lemah. Dengan demikian, hakekat
riba yang dilarang dalam Al-Qur'an adalah riba yang mengarah kepada pemerasan
debitur (zulm).
Untuk menyesaikan kasusu
bunga bank, Muhammadiyah menggunakan metode Qiyas yakni dengan melihat ‘illat
diharamkan riba. Oleh karena itu, jika bunga bank disamakan dengan praktik
riba, selama itu tidak mengandung zulm maka bermu’amalah dengan bank dapat
dibolehkan.
D. Perkawinan Antar Pemeluk Agama
Untuk memelihara
kemaslahatan sebagai aspek utama dalam maqasid al-yari’at dalam kasus
perkawinan laki-laki muslim dengan wanita ahl al-kitab, seperti Yahudi dan
Nasrani, Muhammadiyah menggunakan metode saddu al-Zari’ah, yakni menghalangi
terjadinya mafsadat, sekaligus memperoleh maslahat. Pada dasarnya Muhammadiyah
berpendapat bahwa perkawinan dimaksud adalah boleh sebab Al-Qur'an dan
haditspun memperbolehkannya. Namun Muhammadiyah melihat bahwa salah satu hikmah
dibalik kebolehan itu adalah memberi ahl al-kitab itu mengikuti agamanya
(Islam). Setelah dikaji, ternyata hikmah itu tidak banyak berfungsi lagi.
Kenyataan di Indonesia menunjukkan bahwa banyak suami yang asalnya beragama
Islam berpindah ke agama yang dianut istrinya. Kalaupun suami tidak berpindah
agama ternyata agama yang dianut anak-anaknya pada umumnya sama dengan yang
dianut ibunya. Oleh karena itu, Muhammadiyah berkesimpulan bahwa mubah itu
harus diubah menjadi haram. Alasannya karena memelihara agama merupakan
maslahat daruriyat yang harus di dahulukan dari maslahat peringkat lainnya.
Metode Saddu al-Zari’ah
ini merupakan pengejawentahan dan kaidah fiqihnya:
“Menghindari mafasadat
di dahulukan dan pada mencari maslahat”. Penerapan kaidah ini pada prinsipnya
cenderung mengabaikan nahs. Dengan kata lain pada saat tertentu kemaslahatan
harus “di dahulukan” dari pada nash. Al-Qur'an da Hadits secara ekplesif telah
membolehkan pria muslim menikah dengan wanita ahl al-kitab. Itu berarti
mendahulukan kemaslahatan dari pada nash.
Kesimpulan:
Salah satu ciri
tajdid/pembaharuan Muhammadiyah adalah penerapan ijtihad, khususnya ijtihad
jama’i dalam mengantisipasi perkembangan jaman. Hanya saja terdapat kesan
kemandegan dan kelambatan dalam menyikapi perkembangan imam madzhab,
Muhammadiyah tidak terikat pada salah satu diantaranya. Nikah dengan ijtihad
jama’i Muhammadiyah telah memiliki perangkat telah memiliki perangkat yang
mandiri dalam mengantasi masalah-masalah kontemporer, tetapi belum dapat
dikatakan sebagai ijtihad mutlak.
Dalam bidang teologi
Muhammadiyah secara ideologi cenderung menganut kalam tradisional, tetapi
secara praktis cenderung menganut kalam rasionalis/modernitas. Dalam bidang
ibadah, Muhammadiyah istiqomah dengan tekatnya memberantas segala bentuk
bid’ah. Muhammadiyah yang menjadikan Al-Qur'an dan al-Sunnah al-Maqbulah
sebagai sumber hukum dan berbagai metode ijtihad dalam mengantisipasi
perkembangan zaman al-Syari’at. Sehingga ada kesan bahwa Muhammadiyah pada
saat-saat tertentu mendahulukan kemaslahatan dari pada nash.
Semoga ijtihad jama’i
dan sikap Muhammadiyah yang terbuka dapat dikembangkan lebih agresif dan
antipasif agar mampu menjawab masalah-masalah kontemporer dan semoga
Muhammadiyah tetap menjalin kerja sama dengan seluruh lembaga dan organisasi,
terutama dalam mengantisipasi perkembangan zaman.
0 Response to "MUHAMMADIYAH DAN MASALAH KONTEMPORER"
Post a Comment