PLURALITAS DALAM BERMUHAMMADIYAH DAN CARA MENSIKAPINYA
Dalam suatu training yang diselengagrakan oleh
pemuka Kabupaten Kediri penulis mengajukan lima pertanyaan:
1. Apakah setiap orang dilahirkan dari bapak/ibu
pengikut Muhammadiyah pasti Muhammadiyah?
2. Apakah setiap orang yang bekerja atau belajar dalam
hal amal Muhammadiyah pasti orang Muhammadiyah?
3. Apakah setiap orang yang menjadi pengurus
Muhammadiyah ditanggung baik kemuhammadiyahannya?
4. Apakah bermuhammadiyah itu adalah berisikan dengan
sungguh-sungguh?
5. Apakah untuk menjadi seorang Muhammadiyah yang baik
seseorang itu cukup berpedoman dengan HPT (Himpunan Putusan Tarjih)?
Rupanya lima pertanyaan tersebut ditanggapi oleh
peserta dengan serius dan memicu perdebatan yang sengit/tajam, ada yang
membenarkan semua pertanyaan tersebut dan ada yang menolak total serta ada yang
mengkritisi dengan melihat realita yang ada. Meski perdebatan itu bisa dianggap
hal biasa sebab perbedaan jawaban akan sangat menentukan bagaimana kita
memperlakukan dia dalam organisasi.
Sesuatu hal yang menarik mengapa hal ini bisa
terjadi. Secara kultural fenomena ini menunjukkan bahwa sadar atau tidak di
dalam bersikap dan berperilaku beragama.
Konsep ini oleh seorang antropolog yang bernama
Spartly disebut dengan “kebudayaan”. Hal ini bisa terjadi ada beberapa
faktor: pertama, karena dipengaruhi oleh teologis (tauhid, fiqh, hadits,
tafsir); kedua, hasil interaksi sosial manusia, tetapi yang jelas bahwa
kita bermuhammadiyah ini sangat plural, plural motivasi, plural teologi, plural
latar belakang pendidikan dan latar belakang seseorang. Bahkan kemudian,
masalahnya pendekatan apakah kita hadapi keragaman ini, teologis, tauhid,
akhlak dakwah atau politik, tentu setiap pendekatan mempunyai implikasi yang
berbeda.
Warna-warni dalam Bermuhammadiyah
Menurut DR. Munir Mulkhan (Pimpinan Pusat
Muhammadiyah) dalam bukunya “Islam Murni di Masyarakat Petani” maupun
dalam bukunya “Nyufi Cara Bari Kiai Ahmad Dahlan dan Petani Modernis”
bahwa Muhammadiyah itu terjadi farian atau warna-warni yaitu
Muhammadiyah Al-Ikhlas (yang menjalankan Islam Murni). Dan inilah yang dikenal
di kalangan orang luar Muhammadiyah dengan ciri-ciri sebagai berikut:
A. Bidang Kepercayaan
Kepercayaan tentang Tuhan atau aqidah tauhid dapat dirangkum sebagai
berikut:
1. Hanya Tuhan Allah Yang kuasa menentukan nasib
manusia, tempat meminta pertolongan.
2. Manusia harus bekerja keras mencari rizki dan
menyerahkan hasilnya pada kehendak Allah Yang Mutlak sebagai rahasia Tuhan dan
maksudnya tidak bisa diketahui.
3. Tidak percaya pada kekuatan dan kekeramatan kuburan
siapa atau apapun.
4. Tidak ada hari kiamat, baik atau buruk.
5. Memahami ajaran Islam dari buku tarjih atau
langsung dari Al-Qur'an dan hadits dengan akal.
6. Tidak menganggap kitab Al-Qur'an sebagai benda
keramat.
B. Bidang Ibadah (Ritual)
Ajaran bidang ini meliputi:
1. Tidak slametan dan tahlilan.
2. Ziarah kubur untuk mengingat akhirat bukan minta
berkah
3. Tidak memakai sorban atau peci haji
4. Kedekatan pada Tuhan adalah kunci nasib dan segala
persoalan hidup.
5. Menyembelih kambing aqiqah sesudah anak lahir.
6. Membaca dzikir sesudah shalat wajib sendiri-sendiri
tanpa suara keras.
7. Segera shalat jamaah di rumah, mushola, atau
masjid.
8. Tidak menyelenggarakan upacara pertunangan.
9. Memisahkan tempat duduk pria dan wanita dalam
rapat, pengajian, dan lainnya.
10. Tidak makan minum dalam pesat dengan cara berdiri.
C. Bidang Sosial dan Politik
Ajaran yang disebut “muamalat” atau “ibadah
umum” ini meliputi:
1. Tidak mematuhi ulama atau kiai dengan mencium
tangan, tidak mematuhi kecuali ajaran Islam.
2. Tidak membawa sajadah bergambar dan tasbih atau
mengharuskan memakai peci dalam shalat.
3. Memelihara kebersihan pekerjaan secara halal.
4. Rumahnya bersih dari hiasan yang melanggar hukum
Islam seperti foto artis/bintang film.
5. Disiplin mengikuti kegiatan pengajian, rapat, dan
kegiatan organisasi.
6. Mengucapkan salam ketika bertemu seorang muslim.
7. Hidup dan berpakaian sederhana tetapi senang
membantu orang lain.
8. Pesta perkawinan secara sederhana tanpa kesenian
apapun.
9. Menyekolahkan anak ke sekolah Muhammadiyah atau
negeri.
10. Tidak memai cincin (bagi pria) apalagi emas.
11. Hanya mendukung partai Islam atau organisasi
politik sesuai jiwa ajaran Islam.
12. Aktif dalam politik untuk dakwah mengajak masuk
Islam bagi yang belum Islam dan memurnikannya bagi yang sudah memeluk Islam.
Kemudian Muhammadiyah menurut K. Ahmad Dahlan
(Orang Muhammadiyah yang kompromi dengan budaya lokal tetapi di sana sini
terdapat perjinakan terhadap budaya lokal). Muhammadiyah Mahmud dan Munu ialah
(orang Muhammadiyah yang sangat kompromi terhadap budaya lokal yang tanpa
filter sama sekali, mereka bermuhammadiyah tetapi juga mengamalkan perdukukan,
tahlil, dan lain-lain. Sementara Prof. DR. Syafiq A. Mughni membuat geografi
Muhammadiyah, bahwa Muhammadiyah itu ada Muhammadiyah:
1. Lamongan. Muhammadiyah ini sangat keras, anti
terhadap bid’ah dan kurafat serta takhyul.
2. Yogyakarta. Muhammadiyah ini agak kompromi terhadap
budaya lokal.
3. Malang. Muhammadiyah ini cuek terhadap bid’ah,
kurafat serta takhyul.
Sementara DR. Muslim Abdurahman, ini adalah tanda
sebagai ekspresi kebudayaan yang ia miliki beragam dalam bermuhammadiyah sesuai
dengan sub kultur bahkan kelas sosial tempat mereka hidup.
Kembali Pada Hakekat Muhammadiyah
Jika tidak disikapi dengan tepat pluralitas
bermuhammadiyah sering kali melahirkan konflik internal warga Muhammadiyah.
Model kemuhammadiyahan seseorang atau sekelompok orang yang sering kali
menjadikannya berada dalam posisi eksklusif, sehingga muncul barisan paling
bermuhammadiyah. Jika demikian maka proses transformasi telah terhenti, dan
tidak ada lagi tajdid.
Karena itu sikap awal yang perlu dihayati adalah
bersikap obyektif dan menerima seperti apa adanya. Bahwa pluralitas dalam
memahami Islam (internalisasi) seperti adanya kecenderungan fiqhyah, akhlak dan
kultural, dakwah dan politik adalah realitas dalam bermuhammadiyah. Demikian
juga pluralitas dalam memilih aspek yang menjadi wadah aktualisasi nilai-nilai
Islam (objektifikasi) adalah realitas pula yang harus dihadapi. Sekelompok
orang yang lebih suka dalam kegiatan bermuhammadiyah, atau dakwah bil lisan dan
bil hal atau dakwah amal usaha Muhammadiyah dan bahkan bermuhammadiyah melalui
kegiatan seni, ekonomi, dan partai politik.
Setiap tempat memiliki tantangan yang berbeda satu
dengan yang lain, sebagaimana juga orang memiliki kecenderungan dan kemampuan
yang berbeda dalam memahami ajaran Islam. Kita bersifat biasa ketika sama-sama
orang Muhammadiyah berbeda dalam memilih cara berpolitik gigh atau low,
termasuk memilih afiliasi partainya. Yang tidak biasa, jika ada
orang Muhammadiyah berhenti berdakwah, berhenti berpikir dan berijtihad dan
beramal menegakkan sosial di muka bumi dengan berusaha mewujudkan individu,
keluarga dan masyarakat utama sikap seperti ini merupakan bagian dari sikap
dakwah, yakni berpikir dan bersikap obyektif.
0 Response to "PLURALITAS DALAM BERMUHAMMADIYAH DAN CARA MENSIKAPINYA"
Post a Comment