LIMA DOKTRIN MUHAMMADIYAH
Muhammadiyah, organisasi Islam yang sudah berusia 87 tahun berdasarkan
kalender Hijriah Banyak harapan
ditumpuhkan kepada Muhammadiyah, tapi juga komentar dan kritik dari yang paling
lunak sampai yang paling tajam dialamatkan ke organisasi Islam paling tua ini.
Muhammadiyah yang didukung sekitar 28 juta anggota
dan simpatisan ini Alhamdulillah, terus tumbuh pesat dan mampu menjalankan
berbagai amal shalih di bidang pendidikan, dakwah, lapangan sosial dan
kesehatan, dan yang tak kalah pentingnya pemeliharaan semangat keagamaan lewat
beribu-ribu forum pengajian atau majlis taklim lainnya.
Barangkali tidak berlebihan jika dikatakan, dilihat
dari ribuan sekolah yang dimilikinya, puluhan perguruan inggi, pondok
pesantren, rumah sakit, poliklinik, BKIA, panti asuhan yatim dan rumah jompo
serta badan-badan koperasi yang dikelola. Muhammadiyah telah menjadi organisasi
Islam terbesar di muka bumi. Bahkan kini telah muncul Muhammadiyah di
negara-negara ASEAN seperti Singapura, Malaysia, dan Tailand (selatan).
Sebagai organisasi, Jam’iyah, perserikatan dan
harakah (gerakan). Sejauh yang saya ketahui Muhammadiyah memegang teguh lima
doktrin yang sampai sekarang ini tetap hidup di kalangan warga Muhammadiyah.
Secara elementer tulisan berikut menguraikan masing-masing doktrin tersebut.
A. Tauhid
Bendera Muhammadiyah menunjukkan dengan jelas
betapa seluruh gerakan dan kehidupan Muhammadiyah harus berdasarkan tauhid.
Kalimah tayibah atau kalimah tauhid, yaitu La ilaaha illa Allah dan
Muhammadarrasullah (tidak ada Tuhan kecuali Allah dan Muhammad utusan
Allah) yang tercantum dalam bendera Muhammadiyah itu menjadi sumber atau axis
kehidupan Muhammadiyah.
Mengesahkan Allah atau meyakini keesaan Allah (unity
of godhead), bagi Muhammadiyah, menurunkan pengertian-pengertian ketauhidan
berikutnya, yaitu kesatuan penciptaan (unity of creation), kesatuan
kemanusiaan (unity of mankind), kesatuan pedoman hidup berdasar agama
wahyu (unity of guidance) dan akhirnya kesatuan tujuan hidup (unity
of the purpose of life).
“Tiada Tuhan Kecuali Allah” mengandung makna bahwa
Allah menjadi sumber seluruh kehidupan dan menjadi tujuan akhir pengabdian
seluruh makhluk. Tauhid mengajarkan agar manusia berpegang teguh pada keesaan
Allah sebagai al-urwah al-wusqa atau tali yang kokoh (QS. Al-Baqarah
(2): 256 dan Luqman (31): 22) dan tidak menkompromikan kekuasaan Allah dengan
kekuasaan apapun juga. Karena perbuatan syirik seperti itu tidak akan pernah
diampuni (QS. An-Nisa’ (4): 48, 116).
Tauhid menuntut pemurnian atau purifikasi keyakinan
setiap orang beriman dengan jalan menjauhkan diri dari setiap gejala TBK
(Tahayul/superstisi, Bid’ah dan Kurafat) karena setiap gejala TBK
berarti menjauhkan martabat manusia ke lembah yang paling nista. Tidak
mengherankan bila Muhammadiyah kemudian mempunyai kepekaan tajam terhadap
hal-hal yang dikategorikan sebagai TBK.
Namun jangan dilupakan bahwa tauhid juga menuntut
ditegakkannya keadilan sosial, karena dilihat dari kacamata tauhid, setiap
gejala eksploitasi manusia atas manusia merupakan mengingkaran terhadap
persamaan derajat manusia di depan Allah. Secara demikian jarang yang menganga
lebar antara lapisan kaya dan lapisan miskin yang selalu disertai kehidupan
yang eksploratif merupakan fenomena yang tidak tauhidi, bahkan anti
tauhid.
Almarhum K.H. Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah,
pernah bertahun-tahun hanya mengajarkan Al-Qur'an surat al-Ma’Usaha Nasional
pada santrinya. Saya yakin hal itu dilakukan bukan saja karena pesan-pesan
keadilan sosial dari surat al-Ma’Usaha Nasional itu belum dilaksanakan dengan
baik oleh umat Islam, tetapi juga karena K.H. Ahmad Dahlan ingin menanamkan
suatu pengertian bahwa sosial adalah realisasi “tauhid sosial” di tengah
masyarakat Indonesia.
Untuk konteks Indonesia dewasa ini, di samping
harus tetap memegang teguh tauhid aqidah, Muhammadiyah agaknya juga harus terus
mempertajam tauhid sosialnya. Masyarakat Indonesia modern telah melahirkan
fenomena monopoli dan monopsoni yang cukup meluas, konglomerasi yang cenderung
bertentangan dengan keadilan sosial, dan pelebaran jarak antara lapisan kaya
dan lapisan tidak berpunya yang semakin jauh. Di samping itu tanda-tanda makin
suburnya feodalisme di bidang pendidikan juga semakin lepas kendali.
Doktrin tauhid Muhammadiyah di lapangan sosial
nampaknya memerlukan formulasi-formulasi baru. Oleh karena itu sesuai dengan
perintah Allah bahwa pertama-tama yang harus ditegakkan adalah keadilan (QS.
An-Nahl (16): 90), di masa sekarang dan masa depan Muhammadiyah harus menjadi
salah satu kekuasaan bangsa yang terus berupaya melenyapkan setiap fenomena
ketidakadilan sosial.
Dalam pada itu dalam usaha menegakkan tauhid dalam
arti luas, Muhammadiyah menggunakan semangat amar ma’ruf dan nahi
mungkar sebagai sumber dinamika dan kreativitas. Menyebar kebajikan dan
mencegah kebatilan telah menjadi semangat yang built-in dalam perjuangan
Muhammadiyah. Dalam wawasan keagamaan Muhammadiyah, tauhid adalah masalah
paling kunci. Tauhid yang jernih dan benar akan melahirkan kehidupan yang
bersih, seimbang, dan adil serta sejahtera. Sebaliknya bila tauhid itu telah
terkena polusi syirik, kehidupan umat Islam akan mengalami degradasi dan
degradasi dalam segala bidang. K.H. Ahmad Dahlan pernah berwasiat: ad-daau
musyarakatullahi fi jabarutihi wad-dawau tauhidullahi haqqan (penyakit
sejati adalah mensekutukan Tuhan dalam hal kekuasaan-Nya, sedangkan obat sejati
adalah mengesakan Allah dengan sesungguh-sungguhnya).
B. Pencerahan Umat
Doktrin Muhammadiyah berikutnya adalah mencerahkan
dan mencerdaskan umat Islam dan bangsa Indonesia. Para tokoh Muhammadiyah
pendahulu tidak pernah bosan mengingatkan masyarakat Islam Indonesia bahwa ilmu
pengetahuan adalah barang yang hilang dari kaum muslimin yang harus direbut
kembali.
Pada setiap awal pertumbuhannya, Muhammadiyah tidak
membangun kongsi-kongsi dagang, tetapi membangun sekolah sebanyak mungkin.
Pertimbangannya terlalu jelas, yakni kebodohan telah menjadi musuh terbesar
umat Islam dan mustahil umat Islam dapat membangun masa depan yang lebih biak
bilamana kebodohan dan keterbelakangan tetap saja melekat dalam kehidupan
mereka.
Lewat doktrin enlightenment bagi umat Islam,
Muhammadiyah merintis sekolah umum sebanyak-banyaknya. Bagi Muhammadiyah kitab
kuning dan kitab putih sama saja pentingnya. Menarik untuk diingat anjuran
tokoh-tokoh Muhammadiyah agar ZIS (Zakat, Infaq dan Sadaqah) tidak saja
disalurkan ke masjid, tetapi kalau perlu lebih banyak lagi yang disalurkan ke
lembaga-lembaga pendidikan.
Alasannya jelas, yakni umat Islam yang berjubel
memadati masjid tidak akan pernah dapat berangkat jauh bila mereka tetap
terbelenggu dalam kebodohan dan keterbelakangan. Umat Islam yang bodoh,
demikian keprihatinan para tokoh Muhammadiyah sejak dulu, dapat berubah posisi
dari mayoritas kuantitatif menjadi mayoritas kualitatif.
Dalam mencerdaskan dan mencerahkan umat Islam,
Muhammadiyah menempuh tiga proses pendidikan sekaligus, yakni ta’lim,
tarbiyah dan ta’dib. Ta’lim berusaha mencerdaskan otak manusia,
tarbiyah mendidik perilaku yang benar, sedangkan ta’dib memperluas adab
kesopanan. Paling tidak secara teoritis, seluruh lembaga pendidikan
Muhammadiyah berusaha menggelindingkan pencerahan tiga dimensi itu sekaligus,
berdasarkan wawasan keislaman.
Bila kita perhatikan sejenak, hasil usaha
Muhammadiyah di bidang pendidikan itu relatif memuaskan. Berkat usaha
pendidikan Muhammadiyah ini, mental image atau citra tentang santri
dewasa ini telah berubah sangat positif. Bila 30 sampai 20 tahun yang lalu kata
santri itu mengandung konotasi kurang membanggakan, sekarang ini kata “santri”
telah berubah makna.
Santri bukan lagi menggambarkan seorang yang lemah,
bodoh, sarungan dan berwawasan smepit, serta mudah dipecundangi, tetapi
sebaliknya santri adalah sosok manusia beragama, yang makin cerdas dan kritis,
menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, berwawasan luas dan sangat yakin
diri. ICMI barangkali adalah gambaran santri modern, dan sampai batas tertentu,
kontribusi Muhammadiyah dalam mengubah citra santri lewat proses pencerahan itu
tidak dapat diabaikan.
C. Menggembirakan Amal Salih
Doktrin “iman tanpa amal salih” bagaikan “pohon
tanpa buah” sangat dipegang oleh seluruh warga Muhammadiyah. Dalam Anggaran
Rumah Tangga (ART) Muhammadiyah, syarat berdirinya sebuah ranting Muhammadiyah
adalah dimilikinya sebuah amal usaha, walaupun hanya sebuah ibtidaiyah atau
taman kanak-kanak. Sebuah ranting Muhammadiyah tingkat kelurahan tidak akan
disyahkan oleh pimpinan yang lebih tinggi bila para pendirinya hanya memasang
papan nama kemudian tidur kembali.
Dalam enak warga Muhammadiyah, fungsi organisasi
antara lain adalah untuk memobilisasi atau dalam bahasa Muhammadiyah, untuk
menggembirakan amal saleh kolektif. Dilihat dari perspektif ini, lahirnya
Muhammadiyah pada 87 tahun yang silam merupakan terobosan besar. Sebelum
Muhammadiyah lahir, umat Islam sudah terbiasa menggerakkan amal salih dalam
berbagai bidang kehidupan, akan tetapi hanya bersifat kecil-kecilan di atas
inisiatif individual belaka.
Setelah Muhammadiyah lahir, kemampuan dan semangat
beramal dari berbagai individu muslim dipadukan lewat sebuah organisasi. Karena
organisasi lewat pembagian kerja yang rapi, umat Islam dapat melakukan
lompatan-lompatan amal salih secara kuantitatif dan kualitatif. Apa yang tidak
mungkin dikerjakan melalui kemampuan individual, akhirnya dapat dilaksanakan
dengan bagus lewat organisasi. Dan organisasi itu bernama Muhammadiyah.
Sampai sekarang semangat beramal salih tetap kuat
menghujam dalam sikap hidup kalangan warga Muhammadiyah. Sekalipun banyak kritik
dilontarkan orang karena Muhammadiyah “hanya” mendirikan sekolah, madrasah,
universitas, rumahs akit, masjid, panti asuhan, pesantren dan sebagainya,
tetapi perlu diingat bahwa yang “hanya” ini dan “hanya” itu juga memerlukan
sumberdaya manusia yang berkualitas lumayan dan sumber dana yang memadai. Juga
tanpa semangat beramal tinggi, prestasi seperti ityu tidak pernah dapat
dicapai.
Sementara itu untuk dicatat bahwa dalam rangka
menggembirakan amal saleh di segala lapangan kehidupan, Muhammadiyah mengesah
etos kerja yang tercerminkan dalam semboyan “sedikit bicara banyak bekerja”.
Kerja keras, menghargai waktu, disiplin tinggi adalah butir-butir sikap hidup
yang ditanamkan oleh Muhammadiyah. Etos kerja itu dapat kita cermati dalam mars
Pemuda Muhammadiyah. Nasyiatul Aisyiyah, Kepaduan Hizbul Wathon dan sebagainya.
D. Kerjasama untuk Kebajikan
“Bekerjasamalah dalam kebajikan dan taqwa dan
janganlah bekerjasama dalam dosa dan permusuhan” QS. Al-Maidah (5): 2 telah
dijadikan doktrin perjuangan Muhammadiyah. Selama rentang waktu 87 tahun
Muhammadiyah telah membuktikan manfaat doktrin Al-Qur'an tersebut.
Sebagai organisasi dakwah yang berusaha mengajak
seluruh lapisan masyarakat untuk menegakkan kebajikan dan mencegah kemungakran.
Muhammadiyah menghimbau para muballighin dan muballighah-nya
untuk selalu dapat bekerja sama dengan semua pihak demi tercapainya tujuan baik
bersama. Di kalangan da’i Muhammadiyah ada semacam slogan bahwa hanya dengan
iblis, Muhammadiyah tidak dapat bekerjasama.
Secara singkat dapat digambarkan bahwa kerjasama
Muhammadiyah itu berdimensi empat.
Pertama, kerjasama internal Muhammadiyah dengan seluruh organisasi otonomnya dan
juga kerjasama antar, majelis dan antar lembaga dalam tubuh Muhammadiyah
sendiri.
Kedua, kerjasama
antara Muhammadiyah dengan seluruh organisasi Islam dalam rangka memperkokoh
ukhuwah Islamiyah. Sinyalemen yang mengatakan bahwa organisasi-organisasi Islam
pada umumnya sudah sama-sama bekerja tapi belum bekerjasama secara efektif,
menunjukkan perlunya usaha peningkatan ta’awanu ala al birri wa at-taqwa di
antara mereka secara terus menerus.
Ketiga, kerjasama dengan seluruh kekuatan sosial, termasuk dengan umat beragama
lain, untuk mengisi kemerdekaan lewat program-program pembangunan nasional
seperti tercantum dalam GBHN. Dalam masa penjajahan, Muhammadiyah bekerjasama
dengan kelompok-kelompok non muslim untuk merebut kemerdekaan dan dewasa ini
kerjasama itu diwujudkan dalam usaha-usaha bersama untuk membangun masa depan
Indonesia yang lebih baik.
Keempat, Muhammadiyah juga selalu membangun kerjasama dengan pemerintah yang
syah. Muhammadiyah selalu bersifat kritis-kooperatif dengan pemerintah dan
tidak pernah mengambil posisi yang kontradiktif-konfrontatif. Muhammadiyah
mendapatkan bantuan cukup besar dalam usaha pendidikannya (berupa perangkat
pendidikan dan guru-guru subsidi), tetapi seluruh amal usaha Muhammadiyah juga
telah sedikit banyak meringankan beban pemerintah dalam menjalankan tugas-tugas
konstitusionalnya.
Dalam pada itu hubungan Muhammadiyah dengan ABRI
harus selalu harmonis, mengingat almarhum Jendral Sudirman, Bapak Tentara
Nasional Indonesia, adalah anak didik Muhammadiyah dan tokoh kepanduan
Muhammadiyah, Hizbul Wathon. Dalam kaitan ini tidak berlebihan bila di depan
Sidang Tanwir beberapa waktu yang lalu Pangab Jendral Faisal Tanjung
mengatakan: “Dalam tubuh jiwa ABRI ikut mengalir darah nilai-nilai
Muhammadiyah. Tentunya saya yakin dalam diri dan jiwa Muhammadiyah ikut
tersenyum semangat kejuangan ABRI”.
E. Tidak Berpolitik Praktis
Dalam mencapai cita-cita perjuangan untuk membangun
masyarakat utama yang diridjoi Allah SWT., Muhammadiyah menghindari kegiatan
politik praktis. Sepintas sikap Muhammadiyah seperti ini nampak tidak bijak,
karena bagaimana mungkin dakwah dalam arti politik praktis dalam arti struggle
for power?
Masalahnya, Muhammadiyah membangun masyarakat,
membangun katakanlah, infra-struktur dalam perspektif jangka panjang.
Muhammadiyah tidak ingin mengambil short-cut atau jalan pintas politik
dengan membangun kekuasaan dan berambisi ikut merebut kekuasaan dengan
kekuatan-kekuatan politik yang ada. Tidak.
Logika Muhammadiyah adalah dengan membina
masyarakat lewat siraman nilai-nilai Islam, Muhammadiyah berarti telah ikut
mempersiapkan manusia-manusia yang berakhlak, memgang nilai-nilai dan norma-norma
moral secara kuat, sehingga tatkala manusia-manusia tersebut masuk ke
gelanggang politik praktis, mereka tidak akan menjadi homo politicus yang
mengejar kekuasaan demi kekuasaan sementara. Dengan kata lain, mereka akan
mampu menolak proses dehumanisasi dalam dirinya dan memandang kekuasaan politik
sebagai amanat untuk mensejahterakan rakyat.
Salah satu rahasia kelestarian dan kestabilan
Muhammadiyah terletak pada kepiawaiannya untuk menghindari politik praktis.
Pengalaman menunjukkan bila kepentingan politik sudah masuk ke dalam tubuh
sebuah organisasi non-politik, maka organisasi tersebut menjadi rawan konflik
dan perpecahan.
Dalam sejarahnya Muhammadiyah pernah ditawari
pemerintah untuk berubah bentuk dan jati diri menjadi partai politik. Akan
tetapi tawaran itu dengan bijak dan penuh pertimbangan tidak diterima oleh para
pemimpin Muhammadiyah. Sebabnya jelas, partai politik mudah dibanting, mudah
bubar atau dibubarkan, dapat lebur dalam sebuah fusi, rawan perpecahan dan juga
seringkali dapat mati perlahan-lahan.
Di atas adalah lima doktrin yang dapat saya simpulkan secara sederhana
dari praktek kehidupan Muhammadiyah selama ini. Saya yakin doktrin-doktrin
tersebut masih tetap relevan, sekalipun dalam pelaksanaannya harus luwes dan
selalu bersifat kontekstual.
Akhir-akhir ini banyak kritik yang dilontarkan ke Muhammadiyah, antara
lain mengapa Muhammadiyah kehilangan perhatian terhadap masalah-masalah
ekonomi? Padahal masalah ekonomi sangat menentukan keberhasilan perjuangannya?
Bagaimana dapat membangun masyarakat utama, masyarakat yang relatif ideal bila
kekuatan ekonomi Muhammadiyah lemah dan compang-camping? Mengapa Muhammadiyah
kehilangan tradisi kewirausahaan yang pernah dimiliki pada masa lalu?
Dulu Muhammadiyah pernah menjadi pernah trend-setter. Muhammadiyah
lewat gerakan-gerakan reformatifnya berhasil berjalan di depan sejarah. Pionering
spirit atau semangat kepeloporannya dirasakan demikian kuat di tengah
masyarakat. Akan tetapi di mana semangat kepeloporannya itu sekarang?
Terus terang saya belum dapat menemukan jawaban yang memuaskan dalam
persoalan ini. Ini merupakan pekerjaan rumah Muhammadiyah di masa datang.
Mudah-mudahan para pemimpin Muhammadiyah dapat memberikan paling tidak sebagian
jawaban itu. Insya Allah.
0 Response to "LIMA DOKTRIN MUHAMMADIYAH "
Post a Comment