Recent Posts

KH. AHMAD DAHLAN SEORANG INKLUSIF



Lahirnya Muhammadiyah tak dapat dilepaskan dengan situasi saat itu, di mana Belanda giat berusaha menghancurkan umat Islam. Belanda percaya kekuatan besar yang dapat mengusir mereka dari tanah jajahan adalah kesatuan umat. Untuk tujuan itu, selain mendirikan sekolah-sekolah – untuk menjauhkan anak-anak muda Islam dari agamanya – Belanda juga mendatangkan zending Kristen dan misionaris Katholik.
Menghadapi situasi ini, KH. Ahmad Dahlan tak menyerang mereka dengan kekerasan. Ia mengorganisasikan kekuatan umat melalui Muhammadiyah. Terhadap misionaris yang menyerang Islam, KH. Ahmad Dahlan pun memilih untuk berdialog dengan mereka.
Salah satu peristiwa yang cukup terkenal adalah pertemuan Dahlan dengan seorang tokoh Kristen di Jetis, Domine Bakker. Dahlan mengajak misionaris itu berdebat soal kebenaran agama, karena Bekker menyerang ajaran Islam.
Namun, dalam beberapa kali pertemuan, Bakker dilaporkan terkesan berbelit-belit. Dahlan yang menguasai ilmu agama sangat dalam akhirnya mengajukan tantangan: “jika agama Protestas benar, ia masuk ke agama itu, namun jika Islam benar Bakker harus pula masuk Islam”.
Bakker tak mau menerima tantangan. Tak lama kemudian, Bakker pulang ke Belanda. Dua pengikut Bakker, pemuda asal Klaten, masuk Islam.
Solichin Salam, dalam buku Riwayat KH. Ahmad Dahlan, Makin lama Makin Cinta: Muhammadiyah Setengah Abad 1919-1962 (diterbitkan Departemen Penerangan RI), mengkisahkan pertemuan Dahlan dengan Dr. Zwemmer punya tugas untuk melakukan misi pengkristenan di Asia, termasuk Indonesia.
Sebelumnya Zwemmer telah melakukan khotbah di Banjarmasin, Makassar, Surabaya, dan Yogyakarta. Dalam khutbahnya, Zwemmer lebih banyak menyerang Islam.
Zwemmer yang ditemani Dr. Poss pernah berkali-kali menemui Dahlan di Yogyakarta. Mereka berdialog dalam bahasa Arab. Dalam suatu rapat umum di Ngampilan, Yogyakarta, Dahlan mengundang Zwemmer untuk mendengarkan ceramahnya tentang Islam. Zwemmer juga meminta menyampaikan pemikirannya tentang Kristen dan menjawab pertanyaan-pertanyaan hadirin. Satu misi menyatakan, Zwemmer tak hadir, versi lain mengatakan ia datang.
Sebagai pembicara, Dahlan mengumpamakan Islam dengan sekolah yang berjenjang dari kelas satu hingga kelas tertinggi. Islam pada zaman Nabi Adam as diibaratkan kelas satu, kemudian berturut-turut dengan nabi-nabi lainnya. Pada zaman Nabi Muhammad Saw., Islam sampai pada kelas tertinggi, karena itu hendaknya manusia bersatu untuk mempelajari agama tersebut dengan menggunakan akal.
Setelah rapat umum di Ngampilan itu, Zwemmer tidak pernah muncul. Kabar tentang dirinya pun tak terdengar, padahal sebelumnya selama menjalankan misinya, ia selalu diberitakan surat-surat kabar ketika itu. Dalam surat kabar Darmo Kondo di Solo, Ki Hadjar Dewantoro antara lain menyatakan Zwemmer tak mampu menghadapi Dahlan.
Dahlan pun pernah meluruskan ejekan Zwemmer tentang posisi perempuan dalam Islam. Masalahnya, Zwemmer menyerang Muhammadiyah setelah melihat organisasi itu mengorganisasikan kegiatan wanita.
Seakan mengutip Al-Qur'an, Zwemmer mengatakan dalam Islam harga wanita sama dengan birk, yang diartikannya sebagai lembu (baqar). Dahlan yang lebih mengerti Al-Qur'an menolak pandangan Zwemmer. Menurut Dahlan, birk dalam kontek Al-Qur'an berarti anak perawan.
Kisah lain, ketika Dahlan bertukar pikiran dengan Dr. Laberton, yang juga tokoh Kristen. Dalam pertemuan dengan Laberton, Dahlan mengajukan tawaran, bersedia mengikuti agama Laberton, bersedia mengikuti agama Laberton jika benar. “Jikalau di dalam pembicaraan kita ini nanti ternyata bahwa yang benar itu agama Kristen, saya bersedia masuk agama tuan. Bagaimana tuan nanti? Bersediakah tuan untuk Islam, jika ternyata agama Islamlah yang benar?” ujar Dahlan, seperti dikutip Solichin Salam.
Mendapat tantangan itu, Laberton minta waktu untuk berpikir. Menjelang akhir perdebatan, Laberton menyatakan, “maaf, saya tetap berpegang pada agama yang dipeluk oleh nenek moyang saya, karena ini menjadi kewajiban saya”.
Dialog-dialog antar pemuka agama yang dibangun Dahlan dapat berubah menjadi perdebatan sengit. Namun, tidak berarti Dahlan membenci mereka. Bahkan, dari pergaulannya yang luas dengan para pemuka Kristen dan Katholik itu, Dahlan memetik manfaat. Manfaat itu antara lain cara mereka berdakwah, mendirikan sekolah, panti asuhan, dan rumah sakit.
“Agama Kristen dan Katholik mendapat sokongan dari pemerintah (Belanda) untuk menyiarkan agamanya. Dengan peralatan yang modern dan organisasi yang teratur, berwujud sekolah-sekolah dan rumah sakit dan sebagainya, (mereka) memperoleh kemajuan besar dalam merebut hati rakyat. Sebaliknya dari itu, agama Islam dalam kemunduran, alat-alat tabligh masih secara kuno, tempat-tempat pendidikan Islam masih ketinggalan zaman, “ujar Dahlan, sebelum mencetuskan Muhammadiyah.
Seorang tokoh nasional, Prof. Sugardo Purwakawaca – seperti dikutip M. Yusron Asrofie dalam bukunya KH. Ahmad Dahlan Pemikiran dan Kepemimpinannya – menulis Dahlan adalah seorang ulama besar yang bisa melintasi batas yang memisahkan antara kaum Islam dan kaum agama-agama lainnya. Sugardo memberikan alasan atas pendapatnya itu dengan menyebutkan Dahlan bisa bersahabat dengan Pastor van Linth, tokoh Katholik dari Muntilan.
Sugardo menulis Dahlan bahkan bersedia masuk ke gereja dengan pakaian hajinya untuk menemui sang pastur. Sikap Dahlan ini, menurut dia, menimbulkan perhatian publik dan menjadi babak baru dalam hubungan antar agama.
Dahlan dinilai memberikan contoh tentang perlunya toleransi dalam kehidupan sesama umat beragama, harga-menghargai. Tindakan tersebut menyejukkan sehingga bencana perpecahan dalam keluarga dan masyarakat akibat perbedaan agama dapat terhindari.
Realita tersebut barangkali merupakan bantahan terhadap kesimpulan Alwi Sihab dalam bukunya “Membendung Arus, Respon Gerakan Muhammadiyah terhadap Penetrasi Misi Kristen di Indonesia”, yang menyebutkan bahwa Muhammadiyah itu memiliki empat peran yaitu: Sebagai pembaharu agama, kekuatan perubahan sosial, kekuatan politik dan mengandung arus Kristenisasi. Dan sekaligus merupakan tepisan opini bahwa Muhammadiyah adalah ormas yang sangat ekslusif/menutup diri untuk dialog dengan agama lain bahkan apa yang dilakukan oleh KH. Ahmad Dahlan tersebut merupakan dialog yang lintas dari cara suatu hidup ke cara hidup yang lain dari agama satu ke agama lain memasuki wilayah yang sangat sensitif sebagaimana yang dikatakan oleh John S. Punne: apa yang kelihatan bisa terjadi adalah dapat kita sebut melintas (pasing over) lintas dari satu budaya ke budaya lain melintas dari cara hidup yang satu ke cara hidup yang lain.
Memang apa yang dilakukan KH. Ahmad Dahlan dalam dialog antar agama itu memang ada dua pendapat: bahwa dialog agama itu seharusnya berhenti pada wilayah sosial, dan kemanusiaan saja jangan sekali kali memasuki wilayah teologis karena wilayah ini adalah daerah persengketaan yang tidak bisa diselesaikan. (Kausar Ashari, tahun 1997).
Sementara kelompok ke-2 dialog agama harus memasuki wilayah strategis dan masing-masing agama karena sebuah dialog sejati mustahil dilakukan tanpa memasuki wilayah-wilayah teologis dan melibatkan iman. (Hans Kung, 2001).
KH. Ahmad Dahlan menyadari betul meskipun agama berasal dari Tuhan dan bersifat absolut. Namun perlu dipahami yang harus dipahami melalui medium penafsiran manusia yang berlaku dalam setting lingkungan sosial yang komplek. (Ahmad Jaenuri, 2003).
Dalam proses pemahaman dan pengamalan agama itulah agama menjadi tidak sempurna dan kehilangan kemutlakannya, akibatnya seseorang tidak bisa mengambil kesimpulan mengenai keabadian faham agama karena keterbatasan dan ketidaksempurnaan pemahaman manusia terhadapnya. Karena itu adalah salah besar untuk mengkaitkan kemutlakan penafsiran suatu apapun tentang agama itu sendiri.
Tidak ada pemahaman agama secara akstrak, karena itu ajaran Islam yang telah dimungkinkan oleh ulama tidak bisa dipatahkan sebagai kebenaran secara absolut, karena tidak ada satupun penafsiran secara absolut. Penafsiran itu tidak berlaku untuk sepanjang waktu dan semua tempat.
Sikap seperti inilah oleh sisiolog kontemporer disebut dengan teologi inklusif bukan teologi ekslusif, sikap itu diperlukan adanya kerangka pluralistik.



0 Response to "KH. AHMAD DAHLAN SEORANG INKLUSIF"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel