TUGAS-TUGAS HUKUM DAN POLITIK
Masalah
jabatan peradilan (hukum) dan politik, Abu Hanifah memperbolehkan bagi kaum
wanita untuk menempati jabatan hukum sepanjang diperbolehkan memberikan
kesaksian di situ, maksudnya selain masalah-masalah kriminalitas. Sedang Imam
Ath-Thabari dan Ibnu Hazm juga memperbolehkan wanita menempati jabatan dalam
masalah harta dan lembaga yang menangani masalah kriminalitas dan lainnya.
Diperbolehkannya
hal itu bukan berarti wajib dan harus, tetapi dilihatdari sisi kemaslahatan
bagi wanita itu seridin dan kemaslahatan bagi usrah (keluarga), kemaslahatan
masyarakat, serta kemaslahatan Islam. Karena boleh jadi hal itu dapat berakibat
dipilihnya sebagian wanita tertentu pada usia tertentu, untuk memutuskan
masalah-masalah tertentu dan pada kondisi-kondisi tertentu.
Adapun
dilarangnya wanita untuk menjadi presiden atau sejenisnya, karena potensi
wanita biasanya tidak tahan untuk menghadapi konfrontasi yang mengandung resiko
besar. Kita katakan tertentu, karena terkadang ada seorang wanita yang lebih
mampu daripada laki-laki, seperti Ratu Saba' yang telah diceritakan olah Al
Qur'an kepada kita. Tetapi hukum tidak bisa berdasarkan asas yang langka,
melainkan harus berdasarkan apa yang banyak berlaku. Karena itu ulama
mengatakan, "Sesuatu yang langka itu tidak bisa menjadi landasan
hukum."
Adapun
wanita sebagai direktur, dekan, ketua yayasan, anggota majlis perwakilan rakyat
atau yang lainnya, maka tidak mengapa selama memang diperlukan
0 Response to "TUGAS-TUGAS HUKUM DAN POLITIK"
Post a Comment