Recent Posts

URGENSI HPT BAGI ANGGOTA PERYARIKATAN MUHAMMADIYAH

Berbicara tentang urgendi HPT bagi warga persyarikatan Muhammadiyah kita harus menunjuk pada alasan dibentuknya Majelis Tarjih, karena antara HPT dengan Najlis, tarjih tidak dapat dipisahkan. Sesuai dengan namanya, majelis adalah untuk mentarjih atau mengambil pendapat para ulama mujahidin prihal masail diniyah furu’iyah yang sebagaimana kita ketahui adalah sangat banyak yang vareatif, yang nota benenya selalu menjadi penyebab percekcokan, karena masing-masing orang memegang teguh pendapat yang diyakini kebenarannya itu, tanpa ada keinginan untuk menghabisi perselisihan dengan musyawarah dan kembali kepada Al-Qur'an dan hadits atau sunnah Rasulullah Saw. Perselisihan dan percekcokan yang berkepanjangan akan menghambat pekerjaan-pekerjaan besar sebuah perserikatan. Dari sekian banyak masail yang dipilih majlis itulah yang selanjutnya dikenal dng HPT (Himpunan Putusan Tarjih). Dengan demikian, HPT dapat “dianggap” sebagai kitab tujukan bagi masyarakat persyarikatan. Ia sekaligus menjadi jati diri Muhammadiyah. Karena itu seharusnya setiap warga Muhammadiyah mengenal HPT dan kandungannya. Namun tidak berarti HPT adalah segala-galanya. Karena keputusan yang diambil oleh Majlis Tarjih, “Bukan berarti menentang atau menjatuhkan segala yang tidak dipilih oleh Tarjih atau populer disebut”.
Dan karena masail diniyah itu bukan hak seseorang, tetapi milik setiap umat Islam, sedang pintu ijtihad terus terbuka bagi setiap muslim, maka HPT punsgt mungkin untuk dikritik atau dikoreksi oleh siapapun dengan kaji ulang, termasuk orang-orang diluar persyarikatan, dengan mengemukakan dalil-dalil yang lebih jelas. Dan itu sangat penting, karena ketika HPT dibuat (sekitar tahun 30 an) kitab-kitab stadar terutama yang berkenaan dengan penelitian hadits belum banyak sekarang ini. Sehingga tidak mustahil, dalil-dalil yang termuat dalam HPT itu terdapat kelemahan. Lebih-lebih ada suatu hal yang sangat janggal, bahwa dalam HPT itu sampai hari ini masih ada yang “tawaqquf’. Alias belum bisa diputuskan dengan final, misalnya tentang posisi jenazah dalam kubur (HPT, hal 321, masalah 45 dan hal 252, dalil 45)

A.    HPT dan Ittiba’

Ittiba’, yaitu melaksanakan perintah agama dengan mengetahui dalil. Dan itu nilainya lebih tinggi daripada taqlid. Karena itu dengan HPT ini diharapkan nilai amaliyah warga persyarikatan bisa naik. Untuk itu, setiap warga persyarikatan seharusnya mengenali HPT. Sehingga bagi yang mempunyai kelebihan ilmu akan dapat memperbaiki ayau mentashih kesalahan-kesalahan, sedang yang tidak menguasai nushush sudah cukup dengan HPT. Oleh karena itu pula, HPT ini hendaknya menjadi materi pokok dalam pengajian-pengajian rutin warga persyarikatan, mulai PP sampai PR dan karena HPT dibuat sangat sederhana dan singkat, maka sebaiknya para ustadz yang mengajarkan HPT sedapat mungkin memperkaya dalil, sehingga warga persyarikatan ini secara terus menerus mendapatkan tambahan ilmu dan dalil.

B.     Kitab Masail Khams (Masalah Lima)

Muhammadiyah sebagai organisasi yang menamakan dirinya “Gerakan Tajdid”, Lima masalah (HPT hal 276) adalah amat sangat penting untuk dikuasai oleh teks pimpinan. Karena lima masalah tersebut merupakan acuan berfikir memecahkan berbagai permasalahan yang timbul. Lima perkara ini adalah definisi definisi tentang:
  1. Ad-dien (agama)
  2. Ad-dun-ya (Keduniayan)
  3. Al-ibadah (ibadah ritual)
  4. Sabililah
  5. Al-Qiyas dan penggunaannya
Tetapi karena difinisi atau ta’rif kelima masalah tersebut masih sangat sederhana dan singkat yang masih memerlukan penjabaran lebih luas, maka seharusnya dada kajian-kajian khusus untuk pimpinan perihal lima di atas.  

C.    Orientasi Terhadap Himpunan Putusan Tarjih

Salah satu keputusan Muktamar Muhammadiyah ke-42 di Yogyakarta adalah adanya Ketua Tajdid. Dengan demikian resmi Muhammadiyah menyebut dirinya sebagai Gerakan Tajdid. Demikian juga dalam ADALAH Keputusan Mu'amalat’tamar ke-44 di Jakarta 2000 disebut (pasal) bahwa untuk mencapai maksud dan tujuan menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam sehingga terwujud masyarakat Islam yang sebenar-benarnya, persyarikatan Muhammadiyah melaksanaakan dakwah dan tajdid dengan berbagai usaha yang meliputi berbagai aspek kehidupan umat. Dengan demikian, identitas Muhammadiyah sebagai gerakan tajdid semakin jelas.
Tahun 1968 telah ada rumusan Tajdid di kalangan Muhammadiyah. Masalah tersebut dibahas pada mu'tamar Tajdid ke-22 di Malang tahun 1989. Rumusannya adalah:
Tajdid berarti pembaharuan, dan memiliki dua arti:
1.      Pemurnian, sebagai pemeliharaan matan ajaran Islam yang berdasarkan dan bersumber kepada Al-Qur'an dan as-Sunnah ash-shahihah.
2.      Peningkatan, pengembangan, modernisasi dan yang semakna dengannya, dimaksudkan sebagai penafsiran, pengamalan dan perwujudan ajaran Islam dengan tetap berpegang teguh kepada Al-Qur'an dan As-Sunnah ash-Shahihah.

Untuk melaksanakan tajdid dalam dua bidang ini, diperlukan aktualisasi akal pikiran yang cerdas dan fitri, serta akal budi yang bersih, yang di jiwai oleh ajaran Islam. Menurut persyarikatan Muhammadiyah, tajdid merupakan salah satu watak dari ajaran Islam.
Ijitahad dapat dilakukan secara individu dan kolektif. Muhammadiyah memilih ijtihad dalam bentuknya, dengan dibentuknya lembaga majlis Tarjih(1928), Lajnah Tarjih (1971) atau majlis Tarjih dan pengembangan pemikiran Islam (1995). Dari namanya dapat dipahami bahwa majlis ini didirikan pertama kali untuk menyelesaikan persoalan-persoalan khalifiyah, yang pada saat itu dipandang kontroversiaol oleh Muhammadiyah, dan kemudian majlis ini menetapkan mana yang dipandang paling kuat untuk diamalkan oeh warga Muhammadiyah. Tetapi majlis ini juga membahas masalah-masalah baru yang belum pernah dibahas sebelumnya. Sebagai gambaran, berikut ini contoh perjalanan Majlis Tarjih dan tema-tema pembahasannya:
1.      1929-1953    :  Ibadah (bersuci, ibadah haji, jenazah, wakaf dan lain-lain)
2.      1954-1957    :  Sumber ajaran Islam, batas aurat laki-laki, wanita mengajar laki-laki dan sebaliknya, dan lain-lain)
3.      1960             : Pembatasan kelahiran, perburuhan, hak milik, dan lain-lain
4.      1968-1989    :  Masalah muamalah kontemporer (Bunga bank, keluarga berencana, nalo dan lotto, dan lain-lain)
5.      1972             : Asuransi atau pertanggungan
6.      1976             : Pengolahan harta dalam Islam, dan etika wanita dalam Islam
7.      1980             : Bayi tabung, pemcangkokan organ  manusia.
8.      1989             : Aborsi, perkawinan antar agama, zakat profesi, dan lain-lain.
Semakin Banyaknya persoalan yang harus dilaksanakan oleh Majlis Tarjih, maka PP Muhammadiyah pada tahun 1971 telah menetapkan Qaidah Lajnah Tarjih Muhammadiyah (1971), yang antara lain menyebutkan tugas lagnah tersebut, yaitu:
1.      Menyelidiki dan memahami ilmu agama Islam untuk memperoleh kemurniannya.
2.      Dua pedoman yang berlaku dalam Majlis Tarjih: Qaidah dan Manhaj. Qaidah yaitu: Pedoman Menyususn tuntunan aqidah, akhlaq, ibadah dan mu'amalah dunyawiyah.
3.      Memberi fatwa dan nasehat baik atas permintaan maupun tarjih sendiri memandang perlu.
4.      Menyalurkan perbedaan pendapat/faham dalam keagamaan ke arah yang labih maslahat.
5.      Mempertinggi mutu ulama.
6.      Membahas bidang keagamaan yang diserahkan oleh pimpinan persyarikatan.
Sejumlah persoalan muncul sekitar Majlis Tarjih dan pengembangan pemikiran Islam:
1.      Apa makna Tajdid bagi Muhammadiyah
2.      Makna Ijitihad dan kedudukannya dalam Tajidid
3.      Apakah keputusan Tarjih mengikat bagi warga dan kedudukannya bagi Muhammadiyah.
4.      Bagaimana mengembangkan ruh ijitihad di dalam Muhammadiyah.

D.    Manhaj Tarjih

1.      Qaidah dan Manhaj

Dua pedoman yang berlaku dalam majlis Tarjih: Qaidah dan Manhaj. Qaidah yaitu: Pedoman yang berkenan dengan ini hanya berlaku untuk para pimpinan Majlis Tarjih, dalam mengendalikan Majlis.
Sedang Manhaj, adalah pedoman yang berkenaan dengan ketarjihan, dalam mengambil keputusan hukum syara’, sementara Tarjih sendiri bermakna tafdhil, mengutamakan atau melebihkan. Yaitu mengutamakan pendapat satu daripada pendapat yang lain, karena ada kelebihan hujjah yang di bawakan. Majlis Tarjih, adalah majlis yang selalu berusaha untuk mengambil keputusan hukum berdasarkan hujjah/pendapat yang lebih kuat, berdasarkan manhaj yang dipakai.
Majlis Tarjih yang berwenang mengambil keputusan hukum ini, adalah para ulama’ yang di tunjuk oleh pimpinan Persyarikatan Muhammadiyah, setelah diadakan penelitian keilmuannya maupun kemampuannya dalam bertarjih (QMTM, Bab IV ps 11).

2.      Urgensi Majlis Tarjih

Al-Marhum Bapak KH. Azhar Basyir, MA dalam makalahnya tentang mekanisme ijtihad di lingkungan Muhammadiyah, mengatakan: “Menghadapi perkembangan-perkembangan baru dalam kehidupan masyarakat, sangat disarankan urgensinya daripada hasil kajian perorangan”.
Sementara HPT (1936) masih dalam ejaan lama menegaskan: “…… bahwa perselisihan faham dalam masalah Agama sudahlah timbul banyak, diantaranya karena masing-masing memegang teguh pendapatnya seorang ulama atau yang tersebut disuatu kitab, dng tidak suka menghabisi perselisihan itu dengan musyawarah dan kembali kepada Al-Qur'an, perintah Tuhan Allah dan kepada hadits, sunnah Rasulullah”.
Oleh karena itu kita khawatir, adanya percekcokan dan perselisihan dalam kalangan Muhammadiyah tentang masalah agama itu, maka perlulah kita mendirikan Majlis Tarjih untuk menimbang dan memilih dari segala masalah yang diperselisihkan itu yang masuk dalam kalangan Muhammadiyah manakala yang kita angap kuat dan berdalil benar dari Al-Qur'an dan hadits, sunnah Rasulullah.
Sehubungan dengan itu, maka eksistensi Manhaj Tarjih amat sangat diperlukan, karena tanpa manhaj, musyawarah tidak akan dapat menghasilkan keputusan dengan bulat, karena kaidah-kaidah ijtihadiyah itu sendiri, di kalangan ulama’ fiqih masih terdapat khilaf (perbedaan-perbedaan).
Dengan demikian, urgensi Manhaj Tarjih adalah:
a.       Meluruskan alur pikir
b.      Menyatukan pendapat yang berbeda.

3.      Manhaj Tarjib

a.       Manhan umum dan mutlaq:
1)      Al-Qur'an
2)      As-Sunnah as-Shahihah
b.      Manhaj yang tidak umum:
1)      Qiyas, untuk hal-hal yang bukan ibadah mahdhah.
2)      Ijtihad dan istimbath dari nash-nash yang ada, dengan memperhatikan illatul hukmi. (HPT, hal. 278)
c.       Pedoman berijitihad 
1)      Harus dibedakan dahulu antara ibadah mahdhah dengan masalah duniawiyah. Taua dengan istilah lain: Ibadah khusus dan ibadah umum.
a)      Ibadah khusus, yaitu apa yang di tetapkan Allah (termasuk Rasulullah) akan perincian-perinciannya, tingkah dan cara-caranya yang tertentu
b)      Ibadah umum yaitu: Segala amalan yang diizinkan Allah (dan Rasulullah) (HPT, hal. 276)
Dengan pemahaman dua primsip ini, maka kita akan terhindar dari kemasuikan unsur-unsur bid’ah dalam ibadah khusus, karena prinsip ibadah ini adalah ittiba’ (al-Ashlu fil ibadah alharam). Dan akan mampu menghasilkan keputusan dalam masalah-masalah duniawiyah yang maslahah, karena al-Ashlu umuri al-Ibadah.
2)      Al-Qawaidul Ushuliyah yaitu: Qaidah-qwaidah yang berhubungan dengan Ushul fiqh, guna memahami nash-nash dan sunnah, seperti yang ditetapkan para ualama tetap menjadi pedoman bertarjih. Semisal am, khas, mutlaq, muqayyad, mujmal, bayan dan sebagainya. Sebagaimana yang ma’ruf dalam kitab-kitab Ushul.
3)      Termasuk yang tetap dijadikan pedoman yaitu al-Qawaidul Fiqhiyah, yaitu: qaidah-qaidah untuk memecahkan berbagai permasalahan duniawiyah, semisal: Sadduz-dzari’ah al-maslahatul mursalah, al-Urf, al-Istihsan, adh-Dharurah tubihul mahzhurah, al-Hukmuyaduru ma’a illatihi wujudan wa’adaman, daful mafasid muqaddamun ala jaibil mashalih dan lain-lain.
4)      Tidak kalah pentingnya adalah Ushul Hadits, yaitu pokok-pokok yang berkenan dengan hadits/sunnah, harus selalu diperhatikan dalam bertarjih, misalnya:
a)      Pertama-tama dibeakan antara hadits yang shahih dengan yang tidak shahih (dho’if).
b)      Bedakan antara marfu’ (yaitu yang berasal dari Nabi Saw) dengan mauquf (yang berasal dari sahabat).
c)      Semata-mata Mauquf, tidak dapat dijadikan hujjah.
d)     Mauquf ala Hukmil marfu’ (ucapan atau amaliyah shahabat yang dapat di duga berasal dari Nabi) tetap dijadikan hujjah. Misalnya kata sahabat: unna”, “umirna”, “nuhina”, dan sebagainya.
e)      Hadits mursal, pada dasarnya tidak dapat dijadikan hujjah, kecuali kalau ada qarinah (indikasi) yang menunjukkan bersambung sampai kepada Nabi Saw. (ittishal).
f)       Hadits-hadits dha’if, jika banyak dan kedha’ifannya tidak sampai pada maudhu’, dapat dijadikan hujjah asal dan qarinah yang menunjukkan ada asalnya dan dijadikan bertentangan dengan nash Al-Qur'an dan sunnah yang lebih sah.
g)      Jika ada seorang rawi, oleh seseorang ulama dikatakan tercatat, sedang yang lain mengatakan baik, maka celaan itulah yang harus diperangi, setelah terlebih dahulu diadakan penelitian yang mendalam secara Syar’iy.
h)      Pemahaman atau penjelasan seorang shahabi terhadap lafal musytarak dapat diterima. Sebaliknya seorang shahabi yang mengartikan nash diluar arti yang zhahir, maka arti zhahir itu harus lebih di dahulukan (HPR, hal 300).
i)        Ijma’ shhabat dapat dijadikan hujjah (Azhar Basyir, hal.5).

E.     Kekuatan Tarjih

1.      Musyawarah tarjih hanya sebagai langkah untuk menyatukan pendapat, dengan memilih yang paling kuat dan maslahah baik secara naqli maupun aqli. Karena itu, ijtihad jama’i dipandang sangat penting. Makanya, pendapat perorangan dari anggota MT tidak dijadikan sebagai pendapat Majlis.
2.      Putusan Majlis Tarjih bukahlah putusan yang final dan paling benar. Putusan tarjih hanyalah mengambil pendapat dari sekian banyak pendapat yang dipandang paling benar, tanpa membatalkan atau menyalahkan pendapat yang lain. (HPT, hal. 227 dan Azhar Basyir dalam makalahnya).
3.      HPT bukan kitab madzhab dalam arti untuk dijadikan rujukan, tanpa reserve. Tetapi HPT hanyalah sebagai rujukan awal bagi anggota persyarikatan yang kurang/tidak mampu membaca kita. Sehingga mereka beramal dengan mengetahui dalilnya.
4.      HPT terbuka untuk umum, untuk diikuti ditentang dikoreksi dan diperbaiki, setiap saat.

F.     Orientasi Terhadap Himpunan Putusan Tarjih

Salah satu keputusan Mu'amalat’tamar Muhammadiyah ke-42 di Yogyakarta adalah adanya Ketua bidang tajdid. Dengan demikian dalam AD Keputusan Mu'tamar ke-44 di Jakarta 2000 disebutkan (pasal 3) bahwa untuk mencapai maksud dan tujuan menegakkan dan menjunjung tinggi Agama Islam sehingga terwujud masyarakat Islam yang sebenar-benarnya, Persyarikatan Muhammadiyah melaksanakan da’wah dan tajdid dengan berbagai usaha yang meliputi berbagai aspek kehidupan umat. Dengan demikian, identitas Muhammadiyah sebagai gerakan tajdid semakin jelas.
Tahun 1968 telah ada rumusan Tajdid di kalangan Muhammadiyah. Masalah tersebut dibahas pada Mu'amalat’tamar Tarjih ke-22 di Malang tahun 1989. Rumusannya adalah:
  1. Pemurnian, sebagai pemelihara matan ajaran Islam yang berdasarkan dan bersumber kepada Al-Qur'an dan as-Sunnah ash-Shahihah.
  2. Peningkatan pengembangan, modernisasi dan yang semakna dengannya, dimaksudkan sehingga penafsiran, pengamalan dan perwujudan ajaran Islam dengan tetap berpegang teguh kepada Al-Qur'an dan as-Sunnah ash-Shahihah.
Untuk melaksanakan tajdid dalam dua bidang ini, diperlukan aktualisasi akal pikiran yang cerdas dan fitri, serta akal budi yang bersih, yang dijiwai oleh ajaran Islam. Menurut Persyarikatan Muhammadiyah, tajdid merupakan salah satu watak dari ajaran Islam.
Ijtihad dapat dilakukan secara individu dan kolektif. Muhammadiyah memilih ijtihad dalam bentuknya yang kedua, dengan dibentuknya lembaga Majlis Tarjih (1928), Lajnah Tarjih (1971), atau Majlis Tarjih dan pengembangan pemikiran Islam (1995). Dari namanya dapat dipahami bahwa majlis ini di dirikan pertama kali untuk menyelesaikan persoalan-persoalan khilafiyah, yang pada saat itu dipandang kontroversial oelh Muhammadiyah, dan kemudian majlis ini menetapkan mana yang dipandang paling kuat untuk diamalkan oleh warga Muhammadiyah. Tetapi majlis ini juga membahas masalah-masalah baru yang belum pernah dibahas sebelumnya. Sebagai gambaran, berikut ini contoh perjalanan Majlis Tarjih dan tema-tema pembahasannya:
1.      1929-1953    : Ibadah (bersuci, ibadah haji, jenazah, wakaf dan lain-lain)
2.      1954-1957    : Sumber ajaran Islam, batas aurat laki-laki, wanita mengajar laki-laki dan sebaliknya, dan lain-lain)
3.      1960             : Pembatasan kelahiran, perburuhan, hak milik, dan lain-lain
4.      1968-1989    : Masalah muamalah kontemporer (Bunga bank, keluarga berencana, nato dan lotto, dan lain-lain)
5.      1972             : Asuransi atau pertanggungan
6.      1976             : Pengolahan harta dalam Islam, dan etika wanita dalam Islam
7.      1980             : Bayi tabung, pencangkokan organ manusia.
8.      1989             : Aborsi, perkawinan antar agama, zakat profesi, dan lain-lain.
Semakin Banyaknya persoalan yang harus dilaksanakan oleh Majlis Tarjih, maka PP Muhammadiyah pada tahun 1971 telah menetapkan Qaidah Lagnah Tarjih Muhammadiyah (1971), yang antara lain menyebutkan tugas lagnah tersebut, yaitu:
1.      Menyelidiki dan memahami ilmu agama Islam untuk memperoleh kemurniannya.
2.      Dua pedoman yang berlaku dalam Majlis Tarjih: Qaidah dan Manhaj. Qaidah yaitu: Pedoman Menyususn tuntunan aqidah, akhlaq, ibadah dan mu'amalah duniawiyah.
3.      Memberi fatwa dan nasehat baik atas permintaan maupun tarjih sendiri memandang perlu.
4.      Menyalurkan perbedaan pendapat/faham dalam keagamaan ke arah yang labih maslahat.
5.      Mempertinggi mutu ulama.
6.      Membahas bidang keagamaan yang diserahkan oleh pimpinan persyarikatan.
Sejumlah persoalan muncul sekitar Majlis Tarjih dan pengembangan pemikiran Islam:
1.      Apa makna Tajdid bagi Muhammadiyah?
2.      Makna Ijitihad dan kedudukannya dalam Tajidid.
3.      Apakah keputusan Tarjih mengikat bagi warga Muhammadiyah?
4.      Bagaimana mengembangkan ruh ijitihad di dalam Muhammadiyah?

G.    Kerangka Berfikir Dalam Memahami Agama Ala Muhammadiyah

Ormas Islam ditanah air kita ini banyak sekali, ada NU, Muhammadiyah, Persis. LDII, Hijbuttahrir dan lain-lain. Mereka mempunyai ciri sendiri-sendiri. Mereka mempunyai paradikma sendiri-sendiri dalam memahami Agama. Demikian juga Muhammadiyah mempunyai kerangka yang tidak sama dengan yang lain. Kerangka itu adalah:

1.      Pemahaman Bidang Duniawiyah

Dalam Manhaj Tarjih Qoidah yang ke 17 yang berbunyi “Dalam hal-hal yang termasuk Al-Umur al-Duniawiyah yang tidak termasuk tugas para Nabi, Penggunaan akal sangat diperlukan demi tercapainya keselamatan Umat. (Manhajuttarjih. Hal. 27). Ini memberi pengertian bahwa Muhammadiyah di bidang yang berhubungan dengan keduniaan atau tamaddun. Peraktik saat ini tidak harus sama dengan peratik zaman Rasulullah. Peraktik itu hanya diikat oleh dasar yang berupa garis besar yang aturannya berbeda dengan ibadah (ibadah khusus) yang aturan sebagaimana kita ketahui dari informasi dari Al-Qur'an dan sunnah Asshohihah. Seperti masalah Hisab, jinggot makan pakai garpu atau cukup dengan tangan dan lain-lain.

2.      Dasar Utama Dalam Menetapkan Dalil

Dalam Manhaj Tarjih Qoidah yang pertama berbunyi: “Di dalam beristiddlal. Dasar utamanya adalah Al-Qur'an dan sunnah asshohihah. (Manhaj Tarjih. Hal 01) Di dalam HPT. Hal.278 tertulis yang dimaksud as-sunnah shohihah, bukan hadits shohih, tetapi hadits maqhul atau yang disebut al-hadits asyarif”.
Dengan demikian, maka yang dapat kita pahami sebagai dalil syar’i yang mutlaq dalam Muhammadiyah adalah Al-Qur'an, hadits shohih Lizatihi, shohih lighoirihi, hs hasan maqhu; bukan hadits mardut. Ini berbeda dengan ustad A. Hasan Tokoh persis itu. Beliau berpendapat bahwa hadits Hasan lighoirihi itu tidak dapat dibuat dalil dalam menetapkan hukum. Beliau membuat anologi seperti orang sakit berkumpul dengan orang sakit banyak, tidak berarti menjadi sembuh. Seperti HPT. Tentang Wudhu.

3.      Penyelesaian Dalil-dalil yang Kelihatan Bertentangan

Dalam Manhaj Tarjeh Qoidah, yang ke-9 yang berbunyai “terhadap dalil-dalil yang nampak mengandung ta’arud (bertentangan) digunakan cara Al-Jam’u Wat Taufik dan kalau tidak dapat tarjeh (Manhaj Tarjeh. Hal 12)
Dari ini terdapat 4 kata kunci yaitu:
a.       Al Jam’i Wat Taufiq yaitu sikap menerima semua dalil yang walaupun  dhohirnya bertentangan (ta’arud) sedangkan pada dataran peratik pelaksanaan diberi kebebasan untuk memilihnya dengan prinsip Taqsir. Seperti: Qiyamuromadhon ada yang menggunakan pula 2.2.2.2,3 salam ada 4.4.3 salam ada yang salam pakai komplit ada yang tidak komplit dan lain-lain.
b.      Al-tarjeh yaitu memilih dalil yang lebih kuat untuk di amalkan dan meninggalkan dalil yang lebih lemah, seperti masalah Qubut dalam shalat subuh. Dulu awal berdiri Muhammadiyah menggunakan qunut shalat subuh. Kemudian dirubah.
c.       Annasih yaitu mengamalkan dalil yang munculnya lebih akhir seperti Ziarah Qubur.
d.      Al-Tawakuf: yaitu menghentikan penelitian terhadap dalil yang dipakai dengan cara mencari dalil baru. Seperti Kausu Zakat Frofisi, Bunga Bank dan lain-lain.

H.    Kedudukan Madzhab, pendapat imam , Ijma Dan Qiyas

1.      Madzhab

Dalam Manhaj Tarjeh halaman 5 kaedah 4 berbunyi:
“Tidak menbgikat diri kepada sesuatu Madzhab tetapi pendapat Imam Madzhab dapat menjadi bahan pertimbangan dalam menetapan hukum, sepanjang sesuai dengan jiwa Al-Qur'an dan sunnah atau dasar-dasar lain yang kuat”.
Ini berarti bahwa Muhammad bukan firqoh, buka pula Madzhab dan tidak terikta oleh Madzhab-madzhab tertentu baik dalam bidang aqidah maupun dalam fiqih.
Pendapat-pendapat para ulama, baik yang tergabung dalam madzhab tertentu atau ulama non madzhab tetap untuk menjadi bahan pertimbangan dan petunjuk untuk menetukan suatu hukum.
Pendapat-pendapat itu akan dikaji ulang keserasiannya dengan jiwa (kaedah-kaedah umum) yang dihasilkan dari pemahaman terhadap Al-Qur'an dan hadits yang merupakan jiwa dan tujuan syari’ah. Muhammadiyah akan menetapkan sesuatu yang dipandang paling kuat, sesuai dengan hasil musyawarah  yang diatur berdasarkan kesepakatan bersama (Ijtihad Jam’i)
Ini buktinya dengan mengakomodasi hasil rumusan para ulama, seperti mengakomodasikan qiyas yang digunakan oleh Imam Syafi’i, Maslahatul Mursalahnya Imam Abu Hanafiah, sadudhari’ah Imam Malik dan Ihtisannya Imam Hambali.

2.      Ijma’

Dalam buku Manhajutarjeh halaman 11 kaedah ke 8 berbunyi: “Tidak menolak Ijma’ sahabat sebagai dasar suatu keputusan”. Ini berarti Muhammadiyah menerima Ijma’ sebagai dasar memutuskan sesuatu masalah, baik dalam bidang Mahdhoh mupun dalam masalah Ibadah ghoiru Mahdhoh, namun dari sekian Mahdoh maupun dalam maalah ibadah goiru mahdoh, namun dari sekian farian Ijm’ Muhammadiyah menerima Ijma’ sahabat. Dan ini tidak berarti Muhammadiyah mengikari ijma’ ulama, ijma’ ahli Madinah dan Ijma’ umat.

3.      Ijtihad Qiyasi

Dalam buku Manhajutarjeh halaman 35 kaedah yang ke 21 berbunyi: “Ijtihad Qiyasi yaitu menyerangkan hukum yang telah ada nashnya kepada masalah baru yang belum ada hukumnya berdasarkan nash, karena adanya kesamaan ilatnya. Di dalam HPT halaman 278 ada penjelasan hal tersebut”.
Penjelasan itu berbunyi “Bahwa ijtihad Qiyasi yang diamalkan oleh Muhammadiyah terikat oleh beberapa syarat:
a.       Masalah yang dihadapi oleh beberapa masalah ibadah Mahdoh.
b.      Masalah yang dihadapi tidak ditemukan nash sareh dari Al-Qur'an maupun saunnah.
c.       Masalah yang dihadapi memang perlu ditetapkan dalam amal nyata.
d.      Masalah yang dihadapi mempunyai ilat yang sama dengan dasar yang dipakai untuk Qiyas.
Apabila suatu masalah memenuhi syarat-syarat diatas Muhammadiyah dapat melakukan ijtihad Qiyasi dengan melakukan penetapan cabang, asal dan ilatnya.


0 Response to "URGENSI HPT BAGI ANGGOTA PERYARIKATAN MUHAMMADIYAH"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel