MUHAMMADIYAH DAN PEMIKIRAN KEAGAMAAN (Reorientasi Wawasan dan Implememtasi Untuk Aksi)
Ada dua pengaruh yang
mengantarkan lahirnya gerakan Muhammadiyah di awal abad ke-20 ini. Pertama adalah
gerakan tajdid yang dibawa oleh Muhammad Ibn Abd al-Wahhad, Jamaluddin
al-Afghani, Muhammadi ‘Abdul dan Rasyid Ridla. Masing-masing pemikir itu
memiliki corak memikiran yang khas yang membedakannya dari yang lain. Muhammad
ibn ‘Abd al-Wahhad menekankan pemurnian aqidah, sebagai layaknya
gerakan-gerakan Hambali sebelumnya, dan karena itu gerakannya lebih bersifat
revivalis. Muhammad “Abduh menekankan pemanfaatan budaya modern, dan karena itu
gerakannya lebih bersifat medernis. Rasyid Ridla menekankan pentingnya
keterikatan pada teks-teks Al-Qur'an dalam kerangka pemehaman Islam, dan karena
itu gerakannya lebih bersifat skripturalisits, yang menjadi akan
fundamentalisme di Timur Tengah. Dari telaah biografi K.H. Ahmad Dahlan,
terdapat petunjuk betapa pendiri Muhammadiyah itu sangat terkesan dengan
pemikiran-pemikiran mereka yang kemudian dipadukan dengan setting sosial dan
budaya Jawa.
Pengaruh kedua yang
membentuk alam pikiran K.H. Ahmad Dahlan ialah modernisme Barat yang terekspos
melalui kolonialisme Belanda. Namun demikian, modernisme itu mengesankan bukan
melalui ide-ide modern, tetapi melalui format budaya. Seperti dasi, sekolahan,
rumah sakit dan lain-lain. Karena itu, kita tidak melihat pemikiran KH. Ahmad
Dahlan tentang nasionalisme, demokrasi, rasionalisme dan saintisme. Pengaruh
reformasi timur tengah dan modernisme Barat itu secara bersama-sama melekat
pada diri pendidik Muhammadiyah itu, sehingga kita melihat pemikirannya sebagai
simbolis yang diaplikasikan dalam konteks masyarakat Jawa.
Jadi KH. Ahmad Dahlan
bisa dipandang sebagai manifestasi secara seimbang dari budaya Timur Tengah,
barat dan Jawa. Di sinilah letak keberhasilannya dalam mereformasi masyarakat
Islam yang sedang “sakit”.
Pemikiran KH. Ahmad
Dahlan tidak terungkap secara eleboratif dan sistematik karena tampaknya
Muhammadiyah pada saat awalnya tidak diarahkan untuk menjadi gerakan, tapi
gerakan sosial keagamaan. Hal ini terbukti tidak banyak tulisan yang bisa
dinikmati kalangan luas. Ketika mengajarkan Surat al-Ma’un, misalnya KH. Ahmad
Dahlan tidak memberikan penafsiran yang kolaboratif tetapi memilih aplikasi
nyata untuk reformasi kehidupan sosial dengan semangat surat tersebut. Demikian
pula ketika mendirikan sekolah, ia lebih memilih tujuan pendidikan aplikatif
dari pada pengajaran intelektualistik. Hal inilah yang membedakannya
dengan pembaharu keagamaan lainnya pada jamannya, seperti Ahmad Syukarti dan A.
Hasan.
Pemikiran keagamaan
Muhammadiyah muncul kemudian setelah
generasi berikutnya membutuhkan landasan teologis bagi seluruh aksi sosial
keagamaan yang dilakukan. Perlunya landasan teologis itu tampaknya kemudian
dipenuhi oleh KH. Mas Manshur memegang kepemimpinan mu'amalat HK. Mas Manshur
merasa perlu melakukan itu karena pengalaman konfrontasinya dengan kelompok
tradisional di Surabaya dan juga karena Muhammadiyah semakin memerlukan trademar
dengan munculnya tantangan teologis yang perumuskan ideologi. Jadi,
Muhammadiyah berkembang menjadi gerakan pemikiran diakibatkan oleh ideologis
itu.
Dengan demikian, kita
tidak usah mengeluh mengapa dalam perjalannya banyak memikirkan aktivis
Muhammadiyah yang sangat dipengaruhi
oleh karya-karya tokoh Al-Irsyad dan persatuan Islam daripada oleh karya
pemimpin Muhammadiyah sendiri. Namun demikian Muhammadiyah sangat beruntung
karena dalam jangka panjang akhirnya ulama dan cendekiawan yang produktif,
sehingga warna intelektualisme menjadi jelas, sekalipun sebagian besar
tidak dilahirkan oleh sistem pendidikan Muhammadiyah.
Untuk mendapatkan
gambaran tentang pemikiran Muhammadiyah, kita tentukannya tidak cukup dengan
melihat dokumen resmi organisasi yang dihasilkan oleh lembaga-lembaga resmi,
tetapi kita juga harus melihat pemikiran orang-orang Muhammadiyah baik yang
diterbitkan oleh Muhammadiyah sendiri ataui tidak. Kecuali itu, kita juga harus
memperhatikan pemikiran yang berkembang dalam tradisi lesan, seperti ceramah,
khutbah dan seminar. Dari berbagai macam sumber informasi itu, kita bisa
menangkap beberapa wawasan keagamaan Muhammadiyah, yang mungkin secara
sederhana bisa digambarkan melalui jargon-jargon non-madzhab, tajdid, ijitihad
dan kembali kepada Al-Qur'an dan Sunnah. Dalam makalah ini akan dibahas
bagaimana Muhammadiyah telah mendefinisikan jargon-jargon itu, dan bagaimana
kemungkinan mengembangkannya agar relevan dengan ideologi Muhammadiyah.
A. Muhammadiyah dan Madzhab
Pada jaman pra-modern
madzhab merupakan lembaga yang mengembangkan pemikiran keagamaan.
Madzhab-madzhab Islam. Baik fiqh, teologi, falsafah atau tasawauf, merupakan
sistem yang dilengkapi dengan jaringan guru-murid, lembaga pendidikan,
literatur dan patron politik. Orang tidak bisa membayangkan adanya gerakan
pemikiran tanpa mengaitkannya dengan sistem madzhab itu. Sebagai contoh,
jaringan madzhab Hambali masih bisa dikenal sampai abad ke-18 dengan terbitnya
sebuah buku kamus ulama’, thabaqat, hanbali yang ditulis oleh al-“Ulaimi di Syiria.
Dalam buku itu dipaparkan biagrafi tokoh-tokoh Hanbali, buku-buku yang mereka
tulis, lembaga pendidikan yang berkembang, dan pengruh sosial-politik.
Keadaan seperi itu
menjadi di kawasan pusat Islam pada jaman pra-modern di negara-negara Islam.
Sebabnya ialah kemunculan pemikiran-pemikiran baru ya sebelumnya tidak menjadi
pwerhatian madzhab apapun, seperti masalah nasionalsme, demokrasi, rasionalisme
dan sebagainya. Pemikiran-pemikiran seperti itu ternyata tidak di akomodasikan
dalam sistem madzhab konvensional, sekalipun kemudian menjadi tema pembicaraan
yang hangat dikalangan pemikir dan gerakan Islam.
Berbeda dengan kawasan
pusat Islam, Indonesia tidak pernah mengalami dominasi madzhab, lebih-lebih
pada abad ke-20 ini. Masyarakat Islam Indonesia pada hakekatnya tidak mengenal
gerakan pemikiran yang memperjuangkan madzhab tertentu secara konsisten yang
lengkap dengan jaringan para ulama’, pendidikan dan korpus leterature.
Sekalipun dinyatakan bahwa mayoritas umat Islam di Indonesia secara teologis bermadzhab
Syafi’iyah, tetapi pemikiran-pemikirannya tidak pernah dikembangkannya secara
sistematik. Lebih dari itu, dalam masa sekarang ini hampir tidak ada lagi
kesadaran signifikasi atau raison di’etre sebuah madzhab seperti yang telah
dikenal berabad-abad. Dalam kondisi seperti itulah posisi Muhammadiyah sangat
beruntung karena tidak memiliki beban sejarah untuk tetap konsisten dengan para
digna madzhab apapun. Muhammadiyah lebih memilih untuk memotong garis madzhab
dan bebas untuk menentukan jalan pemikirannya.
Dengan memilih jalan
pikiran itu, memang ada kekhawatiran bahwa Muhammadiyah itu sendiri pada
akhirnya berujung pada pembentukan madzhab baru. Kekhawatiran itu sesungguhnya
bisa dihilangkan apabila Muhammadiyah tetap membuka diri terhadap pikiran-pikiran
baru dan memberikann pendukungnya untuk terus-menerus melakukan ijtihad dalam
semua persoalan kehidupan. Dengan demikian, maka Muhammadiyah akan tetap
menjadi gerakan pemikiran yang dinamis. Kenyataannya, orang orang masih bisa
menjadi anggota Muhammadiyah tanpa harus setuju dengan semua keputusan Majlis
Tarjih. Dengan demikian, sangat tepat apabila doktrin dasar Muhammadiyah,
seperti Masalah Lima, Matan Keyakinan dan Cita-cita Hidup Muhammadiyah dan
Kitab dan Kepribadian Muhammadiyah. Tidak dirumuskan secara detail dengan
demikian membuka kemungkinan interpretasi yang luas dan bisa dijabarkan sesuai
dengan perkembangan keadaan.
B. Muhammadiyah dan Tajdid
Sekalipun secara resmi
tidak pernah memproklamasikan diri sebagai gerakan tajdid, tetapi secara
jelas Muhammadiyah tidak pernah menolak sebutan itu. Seacar harfiyah, tajdid
berarti pembaharuan, tetapi perlu disadari bahwa tidak semua bentuk
pembaharuan bisa dikategorikan dalam bentuk tajdid. Secara konseptual,
tajdid harulah bermakna positif sebagaimana telah dinyatakan dalam sebuah
hadits, tetapi pembaharuan bisa berbentuk tahdits yang berarti munculnya
inovasi dalam kategori bid’ah (inni syarra al-umur muddatsatuha). Karena
itu Muhammadiyah menegaskan dirinya sebagai gerajab “kembali kepada Al-Qur'an
dan sunnah” untuk tetap berada dalam kerangkan tajdid.
Dalam kaitannya dengan
tajdid Muhammadiyah perlu mengkaji ulang otentisitas hadits-hadits yang menjadi
landasan bagi lahirnya konsep itu. Yang pertama-tama harus diteliti tentu saja
ialah lahirnya sanad hadits tersebut. Tampaknya belum ada kajian tersebut
digunakan oleh banyak kalangan Muhammadiyah baik untuk menjelaskan ciri-ciri
Muhammadiyah maupun untuk bahwa kritik sanad tidaklah seharusnya menjadi
satu-satunya otensitas sebuah hadits. Kita masih perlu mempertanyakan apakah
mungkin Nabi Muhammad membuat prediksi bahwa pada awal setiap seratus tahun
akan muncul seorang mujaddin yang memperbarui agama Islam, seperti yang
digambarkan oleh hadits tajdid itu. Sangat mungkn hadits itu muncul di
tengah-tengah pergulatan teologis yang menandai
masa pasca Khulafaur Rasyidin. Perlu diingat bahwa hadits-hadits yang memuat prediksi pada
umumnya tidak otentik. Di sinilah kita sebagai sebuah warisan peradaban Islam
yang sangat berharga. Ilmuwan yang berminat dalam ilmu itu sesungguhnya bisa
memanfaatkan perkembangan historiografi dan metode modern sejarah.
Seandainya hadits itu
ternyata otentik, timbul persoalan berikutnya yakni siapakah mereka yang telah
di utus oleh Allah untuk melakukan tajdid itu. Rasyid Ridla menyatakan mereka
itu, antara lain, adalah: “Umar ibn ‘Abd al-‘Aziz (khalifah Amawiyah ke-8)
al-Syafi’i. Al-hazali dan Igbn Taimiyah. Pernyataan Rasyid Ridla ini tentu saja
bukan hanya berarti sekaligus terhadap jasa mereka bagi kemajuan Islam tetapi
sekaligus terhadap kebenaran pikiran-pikiran mereka. Persatuan Islam dalam
Qanun Asasi-nya mengikuti jalan pikiran Rasyid Ridla itu, dan bahkan menambah
Jamaluddin Al-Afghani dan Muhammad “Abduh. Padahal, saya yakin, seandainya
tokoh-tokoh persatuan Islam perintis Qanun Asasi itu sempat mengkaji secara
teliti pikiran-pikiran dua orang terakhir itu pasti mereka akan
mempertimbangkan kembali pernyataan itu. Teologi Muhammad ‘Abduh dalam Risalah
al-Tawhid sangat berbeda dengan buku, at-Tauhid karya Ustadz A. Hasan,
peletak dasar Persatuan Islam. Kesamaan yang dimiliki oleh pemikir-pemikir
tersebut diatas hanyalah terletak pada sumbangan mereka terhadap kebangunan
peradaban Islam sekalipun mereka memiliki posisi teologis yang berbeda atau
bahkan berlawanan. Dengan demikian, kita telah elihat bahwa penyakit tajdid
bisa dengan bebas menentukan mujjdid-nya sendiri sesuai dengan jalan
pikran masing-masing.
Pertanyaan yang penting
bagi kita ialah, memungkinkan Muhammadiyah menentukan siapa mereka yang telah
diutus oleh Allah pada awal setiap abad? “Kemudian timbul persoalan berikutnya
tentang “awal abad” itu. Jika mujadid itu hanya muncul pada stiap awal abad, maka
Muhammadiyah juga hanya menjadi gerakan tahdid pada awal ini, setidak-tidaknya sampai tahun
50-an, bila dipakai tahun miladiyah. Setelah itu, dengan sendirinya tidak ada
lagi gerakan tajdid.
Seandainya Muhammadiyah
mempercayai hadits tajdid itu, maka tidak usah lagi kita mempertanyakan
apakah Muhammadiyah itu masih berhak disebut sebagai gerakan tajdid, karena
gerakan itu baru muncul nanti pada awal abad ke-21. Akhirnya harus
dipertimbangkan juga Universitas Islam, tanpa dibatasi oleh teritori negara
bangsa, yang memiliki makna bahwa di gerakan tajdid bagi dunia Islam mngukin
juga muncul di tempat lain, bahkan di negara non-Islam. Untuk tajdid berskala
nasional sekalipun sangat kecil kemungkinan Muhammadiyah akan tampil, karena
gerakan reform semacam itu tidak pernah pertama-tama muncul sebagai kekuatan
beasr. Gerakan tajdid selalu lahir sebagai ghuraba’ minoritas yang
terasing.
Namun demikian, itu bukan berarti bahwa
gerakan tajdid tidak akan muncul dari tubuh Muhammadiyah. Dari kalangan
persyarikatan itu bidang saja muncul kelompok minoritas yang membawa
pikiran-pikiran baru yang berbeda dengan sikap dan pemikiran umum warga
Muhammadiyah maupun organisatoris Muhammadiyah sendiri. Dengan demikian,
setelah paruhptertama abad ini kita tidak usah mengharapkan perserikatan ini
yang telah berorganisasi dan memiliki jumlah anggota besar ini mempertahankan
cirinya sebagai gerakan tajdid. Untuk memunculkan pikiran-pikiran baru yang
bisa kontroversial, Muhammadiyah akan memilih keutuhan organisasi daripada
mengambil resiko konflik akibat keberaniannya menentang pendapat umum.
Baik mempercayai atau tidak hadits tajdid itu,
langkah yang harus dilakukan oleh Muhammadiyah ialah menyediakan bebas bagi
munculnya pikiran-pikiran baru yang mempersegar dialog intelekrtual asal tidak
menerjang ajaran-ajaran dasar Islam yang bersifat aksiomatik seperti tauhid,
keadilan dan kemaslahatan. Dengan kata lain, semangat ijtihad harus tetap
ditumbuhkan sekalipun hanya akan menyentuh kelompok minoritas dalam
Muhammadiyah.
C. Muhammadiyah dan Ijtihad
Keyakinan Muhammadiyah
untuk mendobrak tertutupnya pintu ijtihad sebenarnya bukan merupakan sesuatu
yang baru, bahkan sepanjang data-data yang diketahui tidak seorangpun di
abad-abad pertengahan (insidad bab al-ijtihad). Kecuali itu, sejarah
telah menunjukkan bahwa kegiatan ijtihad itu tidak pernah berhenti. Jadi,
secara normatif maupun empiris tidak pernah terjadi apa yang disebut dengan insidad
itu. Namun demikian beberapa kesan politik, administratif dan kelesuan
pemikir-pemikir Islam menyebabkan kesan yang kuat bahwa semangat ijtihad itu
telah hilang dari kesadaran umat Islam. Dalam
mentalitas (mentalite) kelesuan seperti itu, seorang pemikir
Islam pada abad ke 15, jalal Al-Din al-Suyuthi, merasa perlu meyakinkan bahwa
setiap zaman tidak akan pernah kosong dari Mujaddid yang sekaligus melakukan
ijtihad.
Apa yang disuarakan oleh
Muhammadiyah untuk terus menerus melakukan ijtihad sebenarnya merupakan
penegasan kembali perlunya kerja keras untuk tetap menjadikan Islam sebagai
agama yang dinamis.
Seruan Muhammadiyah
untuk berijtihad bukan saja dipengaruhi oleh pemikir-pemikir Islam yang datang
terdahyulu, seperti Muhammad ibn ‘abd al-Wahab, Jamaludin al-afghani, ‘abduh
danb Rasyid Ridla, tetapi kita melihat pengaruh yang cukup kuat dari
rasionalisme barat yang merupakan core dari modernisme. Pemikiran
rasional menurut penggunaan akal secara maksimal dalam rangka mendapatkan
pemahaman yang lebih segar dari sumber ajaran Islam. Penggunaan akal inilah
yang sesungguhnya menjadi inti dari ijtihat. Dengan demikian, maka pengertian
kembali ajaran pada Al-Qur'an dan
sunnah haruslah dipahami sebagai kembali kepada sumber ajaran Islam yang secara gamblang
menurut penggunaan akal untuk memahaminya.
Sementara seruan ijtihad
itu digalakkan, kita melihat kenyataan bahwa medan ijtihad yang selama ini
difahami sangat sempit. Sebabnya ialah bahwa kita melihat ijtihad itu hanya
menjadi persoalan fiqh. Penghayatan sempit yang secara ini antara lain
disebabkan domisi Ushul fiqh dalam pembahasan ijtihad selama ini. Ilmu itu
membuatan definisi ijtihad, pakar ijtihad itu bisa dilaksanakan dan siapa yang
berhak melakukan ijtihad. Syarat-syarat yang harus dipenuhi begitu ketat
sehingga ijtihad menjadi sangat ekslusif, dan karena itu membuat orang merasa
rendah diri untuk melakukan ijtihad.
Dengan demikian,
pengertian ijtihad yang sebenarnya bukan hanya menjadi wewenang dari disiplin
ilmu fiqh, tetapi juga disiplin yang lain, seperti politik, ekonomi, pendidikan
dan lain-lain. Memang baner bahwa selama ini fiqh telah mendominasi tata
kehidupan umat Islam karena semua persoalan bisa didekati melalui fiqh. Tetapi
akibatnya ialah pemikiran Islam menjadi amat sempit dan tidak berkembang,
karena fiqh hanya menyediakan hukum normatif, boleh dan tidak boleh.
Pasca abad pertengahan
menunjukkan perkembangan berbagai disiplin dan relevan dengan tata kehidupan
manusia, seperti teologi, antropologi, ekonomi dan politik. Gagasan Isma’il
al-Farugi tentang islamisasi ilmu pengetahuan sangat layak disebut sebagai
ijtihad, dan memperlihatkan perlunya ijtihad dalam persoalan-persoalan dengan
fiqh. Dengan pendekatan seperti ini maka sebenarnya ijtihad itu dalam
kenyataannya terus berlangsung sekalipun tanpa pengakuan normative.
Apa yang di paparkan
diatas hanyalah menegaskan bahwa ijtihad itu telah berlangsung dikalangan
Muhammadiyah, bukan saja melalui kegiatan Majlis Tarjih, tetapi juga melalui
Majlis Hikmah, Majlis Pendidikan Tinggi dan lain-lainnya. Karena itu, untuk
melihat state of the arts ijtihad kita harus menunjuk pada pemikiran-pemikiran
yang terus berkembang dikalangan Muhammadiyah. Penglihatan yang seperti ini
akan memberikan dorongan psikologis bagi lahirnya pemikiran-pemikiran baru.
Dengan demikian, kita sebanarnya telah menjawab kritik A. Syafi’i Ma”arif
terhadap mata keyakinan dan cita-cita hidup Muhammadiyah melalui pernyataan,
“Gagasan Besar dalam kemiskinan Nuansa”.
D. Muhammadiyah dan Bid’ah
Telah menjadi
pengetahuan kita bahwa “Kembali kepada Al-Qur'an dan al-sunnah” adalah
merupakan tema penting dari gerakan Muhammadiyah. Makna dari tema itu ialah
bahwa seluruh sikap dan pemikirannya haruslah di dasarkan pada dua sumber itu.
Selama ini kita melihat bahwa Muhammadiyah sangat rigid dalam menentukan bentuk
dan cara ibadah serta aqidah, sehingga kalau tidak ada pembenaran dari dua
sumberi itu, maka ia disebut bid’ah.
Dengan cara seperti itu,
kita melihat bagaimana gigihnya Muhammadiyah memberantas bid’ah seperti
ushalli, tahlilan, talqin, wasilah dan qunut shalat shubh. Pada tahap-tahap
awal dari perkembangan Muhammadiyah, mungkin sampia tahun 60-an, perlawanan
terhadap bid’ah-bid’ah seperti itu, menjadi perhatian yang sangat penting dalam
kegiatan-kegiatan pengejaran dan tabligh dan bahkan menjadi trade mark dari
sikap Muhammadiyah. Tema-tema tabligh yang berwarna pemberantasan bid’ah itulah
yang sering membedakan antara Muhammadiyah, dan gerakan reformis lainnya.
Dengan organsasi-orgasisasi tradisional di Indonesia.
Masyarakat Indonesia
telah mengalaimi perubahan yang mendasar, seperti kenyataan bahwa ide-ide anti
bid’ah seperti itu mendapatkan pengikut yang semakin luas dan bahkan jauh lebih
luas melebihi jumlah anggota resmi Muhammadiyah, kenyataan ini bisa jadi
mengarah pada kejenuhan masyarakat terhadap tema-tema itu, dan kemudian
mengakibatkan Trade mark Muhammadiyah haruslah diarahkan pada
bid’ah-bid’ah bentuk baru. Jika ini pun dipandang tidak relevan, maka
Muhammadiyah bisa menegaskan kembali komitmenya untuk “kembali kepada Al-Qur'an
dan assunnah”, dengan memperluas nuansanya, bukan terbatas pada
persoalan-persoalan aqidah dan ibadah sebagai penjabaran aqidah dan ibadah.
Pendekatan ini memperkuat apa yang sering
desebut oleh Nurcho lis Maddjij dengan tema perjuangan “to fiqh for”
sebagai ganti to fiqh agaist atau al-amr bi ma al-ma’ruf dan an
nahi al-al-munkar.
Usaha memperkaya nuansa
anti bid’ah sangat terkaji dengan pengertian bid’ah. Jika sejarah perkwembangan
pemikiran Islam dikaji secara cermat akan segera ditemukan betapa definisi
bid’ah itu sering berkembang sesuai dengan perkembangan kontemporer dimana
gerakan-gerakan reformis itu beroperasi. Gerakan reformis yang dikembangkan
oleh ahmad Ibn Hanbal (abad ke-9), Al-Barbari (abad ke-10) dan Ibn Taimiyah
(abad ke-14) menanamkan diri al-\Ahsunnah yang berjuang untuk membasmi
Al-Bid’ah. Yang mereka sebut terakhir itu sebenarnya ibn taimiyah menyarang
tasawaf yang berorientasi pada kultur para wali. Jadi, dengan itu menjadi jelas
bahwa bid’ah pada zaman itu lebih teliti dari persoalan-persoalan aqidah.
Setelah zaman itu, terjadi pergeseran konotasi bahwa bid’ah lebh bersifat
ubudiyah sedang yang bersifat aqidah disebut dengan khurafat atau takhayul.
Pada akhirnya kita
memerlukan definisi dari tentang bid’ah karena kita secara sadar maupun ta ada
penganut apa yang pada abad pertengahan dikategorikan ke dalam bid’ah sebagai
contoh falsafah dan ilmu kalam, dua khasanah pemikiran Islam yang menerima
pengaruh filsifat Yunani, diajarkan secara resmi di lembaga-lembaga pendidikan
Muhammadiyah hampir tanpa kritik jika Ahmad Ibn Hanbali dan al-Barbari
mengetahui apa yang kita lakukan sekarang, mereka akan mengecam kita sebagai
ahlu al-Bid’ah. Jika definisi bid’ah yang mengakui kita sebagai ahli al-Sunnah.
Oleh karena itu, kita
memiliki peluang yang sangat luas untuk menjabarkan secara baru apa yang sat
ini kita pendang bid’ah mungkin termasuk persoalan-persoalan soial, moral dan
etika yang secara langusng tidak langsung tidak memiliki dampak hati-hati agar
tidak mematikan semangat kreatif dan yang merupakan prasyarat terlaksananya
ijtihad.
E. Tantangan Humanisme Sekuler
Apa yang diuraikan di
atas memperjelas perlunya tinjauan ulang terhadap pemahaman tema-tema keagamaan
selama ini dan pada saat yang sama mendefinisikan tantangan baru bagi raison
di’etre gerakan pemikiran Muhammadiyah. Seiring dengan pesatnya kecendrungan
globalisasi dan revolusi informasi pada penghubung abad ini. Terjadi pula
kecenderungan globalisasi dan revolusi informasi pada penghujung abad ini.
Terjadi pula kecenderungan semakin kuatnya pengaruh pemikiran yang
mempertanyakan relevansi ajaran Islam bagi kehidupan manusia Universal. Jika
pada abad yang lalu sekarang ini tantangan modernisme barat yang mendominasi
wacana intelektual direspon oleh reformisme dan modernisme Islam. Maka ketika
modernitas itu sendiri sekarang ditantang oleh post modernisme dengan paradigma
non Islam, maka tuntutan perlunya pengembangan pemikiran Islam itu semakin
jelas.
Tuntutan untuk merespon
tantangan itu tampaknya tidak mungkin
dihindarkan akibat posisi intelektualisme Islam yang tidak dominan dalam ukuran
global. Keterbatasan sarana kepustakaan, komunikasi dan dukungan politik dan
budaya menyebabkan posisi yu inferior yang terus-menerus sementara menunggu
munculnya kondisi superior yang memungkinkan kita menentukan dan mengandalikan
isu-isu fundamental.
Isu yang tampak
menantang Muhammadiyah pada masa-masa mendatang ialah apa yang kita sebut
humanisme sekuler. Faham tersebut akan melanda dunia. Pemikiran global jika
pikiran-pikiran Islam tidak segera mengantipasi kecenderungan itu. Semakin
meluas penerimaam HAM (Hak Asasi Manusia) yang telah dirumuskan oleh lembaga
internasional seperti PBB menjadi bukti semakin kuatnya kecenderungan itu.
Sebegaimana diketahui bahwa sebagian dari butir-butir HAM itu berbeda dengan
doktrin agama yang dipahami secara konvensional, seperti ekonomi, politik,
hukum dan pendidikan bukan juga, menjadi persoalan umat beragama tetapi persoalan
manusia secara keseluruhan.
Menghadapi persoalan
tersebut di atas, ada tidak kemungkinan
bentuk respon yang diberikan oleh Islam. Pertama ialah respon “fundamentalistik”
yang berarti penolakan segala formula formal, etik dan hukum yang tidak sesuai
dengan pemahaman tekstual dari Al-Qur'an dan al-hadits. Kedua ialah respons
“sekuleristik” yang secara radikal mengabaikan tuntunan Al-Qur'an dan hadits
karena berkeyakinan bahwa isu-isu tersebut diatas masuk dalam kategori antum
‘alam bi umur dunyakum (engkau
mengetahui urusan duniamu). Yang ketika ialah respons “reformatif” yang
bermakna pemahaman teks-teks Al-Qur'an dan hadits secara sistematik yang
mengantarkan pada pemahaman tujuannya secara reformatif.
Dengan kata lain,
respons “reformatif” menurut setiap pemikiran manusia dalam kerangka
mendekati cita-cita itu. Bentuk respon ini barangkalai bisa diartikan ijtihad
yang paling proposional karena menuntut sikap terbuka tetapi kritis. Sikap
terbuka berarti kesedian untuk mempertimbangkan perkembangan nilai-nilai itu
agar bergerak uiversal dan sikap kritis berarti mengendalikan nilai-nilai itu
agar bergerak ke arah cita-cita Islam.
Respons “reformatif”
ini telah ditunjukkan oleh Muhamad Abduh ketika menghadapi modernisme Barat,
dan Sayyid Husein Nasr ketika menghadapi post-modernisme. Abduh mereform cara
berfikir umat Islam yang pasif dan fanatik dan mengarahkan rasionalisme barat
ke dalam konsep ijtihad. Nasr memanfaatkan diskursus tentang post-modernisme
sebagai kancah penegasan kembali nilai-nilai tradisional Islam yang telah
terkikis oleh arus medernisme. Namun demikian, kita tidak berarti harus
menerima hasil akhir dari proses reformatif yang telah ditunjukkan oleh dua
pemikir itu, karena sikap seperti itu menyebabkan kembali kepada taqlid.
Dengan kerangka berfikir
reformatif itu, maka yang paling penting dilakukan oleh Muhammadiyah ialah
menyediakan diri sebagai lahan tumbuhnya kekuatan reformatif di abad ke-21
sebagaimana Nabi dan Para sahabatnya telah melaksanakan itu di abad ke-7,
karena itu harus ada reformasi yang sama di abad ke-21. Reformasi semacam itu
hanya akan mungkin dilakukan oleh Muhammadiyah jika mampu mengendalikan
humanisme sekuler ke arah humanisme religius, yakni nilai-nilai kemanusiaan
yang tidak perpisah dari sistem Islam.
F. Normativitas dan Historisitas
Berfikir normative dan
histories secara teoritik bisa dibedakan dan sekaligus dipisahkan, tetapi bagi
Muhammadiyah sebagai gerakan Islam tidak mungkin meninggalkan salah satunya.
Berfikir normative (idealistic) akan memberikan arah dan berfikir hirtoris
(empirik) akan memberikan nuansa yang realistic bagi gerakan itu. Dengan
demikian, kesadaran normative menuntut kajian sejarah Islam sangat penting
untuk melihat bagaimana ajaran itu terealisasikan dalam kehidupan manusia.
Normativitas dan
historisitas bisa dipandang secara dialektis. Artinya ialah historisita
merupakan eksperimen bagi rumusan-rumusan normatif. Rumusan-rumusan normative
mungkin berubah berdasarkan hasil eksperimen, dan sebaliknya untuk eksperimen
harus memperbaiki berdasarkan rumusan normative yang telah berubah. Dialektika
seperti itu bisa terlihat dalam perubahan rumusan ijtihad dan bagaimana
realitasnya dalam sejarah berkembang intelektualisme Islam. Tanpa menyadari
hubungan dialektif itu pemahaman tentang Islam akan menjadi terdistorsi.
Pemahaman Islam oleh sebagian orientalis misalnya, bisa menyesatkan karena
terlalu menekankan dimensi historis, dan pemahaman Islam oleh sebagian
pemikir-pemikir Islam juga demikian karena menekankan dimensi normative.
Sebabnya ialah bahwa penekanan yang
tidak seimbang atau ketidak mampuan untuk membedakannya itu seirng
mengakibatkan anggapan bahwa sejarah itu bersifat normative.
Akibat dari
ketidakmampuan untuk membedakan kedua dimensi itu terihat secara jelas dalam
pemahaman dan keberagaman umat Islam di Indonesia. Sebagai contoh, faham yang
menjustifikasi madzhab dan taqlid muncul akibat ketidak sadaran bahwa sikap itu
muncul dalam sejarah Islam yang diakibatkan oleh faktor-faktor sosial dan
politik pada abad-abad pertengahan. Seandainya tidak ada sikap pragmatis dari penguasa-penguasa
Islam untuk mengapministrasikan penyelesaiaan kasus-kasus sosial pada masa itu.
Maka tidak mungkin sistem madzhab itu dipandang memiliki kekuatan normatif.
Demikian juga, anggapan oleh masing-masing pemeluknya bahwa Syi’ah dan Ahl
al-Sunnah wa al-Jama’ah telah ada sejak jaman Nabi tidak akan terjadi jika
mereka memahami sejarah secara ungguh-sungguh.
Bagi Muhammadiyah perlu
referientasi pemikiran keagamaan itu muncul juga akibat pemahaman yang tidak
proposional tentang, misalnya ijtihad dan tajdid, seperti yang telah disinggung
pada bagian-bagian awal dari tulisan ini. Akibat kurangnya pemahaman empiris,
maka rum,usan ijtihad yang lahir pada generasi ketiga setelah Nabi tetap
dipertahankan untuk melakukan ijtihad pada jaman sekarang. Maka hasilnya ialah
pemahaman yang konservarif tentang ijtihad dan akhirnya pemahaman yang
konservatif pula tentang Islam. Pendekatan historis juga bisa mengakibatkan
kekecewaan yang berlebihan tentang kondisi umat Islam, dan kekecewaan itu
akhinya mengarah pada penafsiran segala proses. Penafsiran proses ini bisa
menyebabkan pengkafiran sesama Muslim.
G. Format Praktis
Sekalipun Muhammadiyah
sebagai gerakan sosial itu lahir mendahului posisi sebagai gerakan pimikiran
keagamaan, maka pada akhirnya kita perlu menjadikan gerakan sosial sebagai
perwujudan dari pemikiran. Jadi kita perlu meletakkan landasan ideologis untuk
mewujudkan gerakan, dan bukan menjadikan ideologi sebagai justifikasi
kenyataan. Dengan cara berfikir diperlukan seperti itu, maka reorientasi amal-amal
Muhammadiyah sangat diperlukan untuk mendukung perwujudan cita-cuita
Muhammadiyah.
Seperti diketahui bahwa
Muhammadiyah telah memiliki beberapa macam majlis dan amal-usaha, tetapi masih
memerlukan orientasi yang jelas agar tidak mudah terserap oleh perkembangan
internal, seperti kepentingan individual, dan perkembangan eksternal, seperti
lembaga-lembaga sejenis di luar kerangka ideologi Muhammadiyah. Disinilah letak
penting format praktis Muhammadiyah untuk membangun masyarakat berdasarkan
humanisme religius dan bukan humanisme sekuler. Sebagai lembaga yang paling
strategis dan telah menjadi trade mark selama ini, lembaga pendidikan
Muhammadiyah memerlukan reorientasi.
Untuk mempertegas
komitmen Muhammadiyah sebagai gerakan pemikiran, tampaknya perlu kerjasama yang
lebih sistematik antara majlis-majlis dan amal usaha agar terjadi evisiensi dan
efektivitas. Dalam hal ini perguruan tinggi Muhammadiyah bisa kita jadikan
kerangka acuan yang paling jelas. Untuk pengembangan pemikiran ekonomi,
misalnya majelis ekonomi bisa jadi lembaga eksperimen bagi teori-teori yang
dikembangkan oleh ekonomi dan majlis tabliq bisa menjalankan sebagai tugas
pengabdian masyarakat sebagai salah satu tridharma perguruan tinggi.
Demikian majlis hikmah
perlu memanfaatkan fakultas ilmu sosial dengan politik antar lembaga di dalam
Muhammadiyah dan mengurangi salah satu konflik yang mungkin timbul karena
tindakannya kesadarannya saling membutuhkan.
Dengan demikian, beban
pemikiran keagamaan itu tidak akan terelakkan semata-mata di opundak majlis
Tarjih yang jelas-jelas berorientasi fiqih karena orientasi fiqih itu sebatas
pada apa yang telah terjadi, maka sulit diharapkan dari majlis itu
pikiran-pikiran segar yang berorientasi ke depan karena itu, maka majlis tarjih itu diinginkan tetap pada
polanya bersifat metodelogis maupun material justru diharapkan muncul dari
fakultas-fakultas syariah dan hukum. Hanya dengan demikian Muhammadiyah bisa
mencerminkan gerakan pemikiran keagamaan.
0 Response to "MUHAMMADIYAH DAN PEMIKIRAN KEAGAMAAN (Reorientasi Wawasan dan Implememtasi Untuk Aksi)"
Post a Comment