Recent Posts

NASIKH DAN MANSUKH DALAM AL-QUR'AN


Al-Qur'an adalah firman Allah SWT. yang menjadi mukjizat, ketentuan-ketentuan yang berlaku universal, tidak dibatasi oleh ruang dan waktu, berlaku dalam segala zaman. Sebab keautentikannya dan keasliannya senantiasa dijamin oleh Sang Pencipta dan Dzat yang

menurunkan Al-Qur'an itu sendiri. Namun secara faktual seringkali muncul pendapat yang mengatakan bahwa Al-Qur'an terjadi perubahan-perubahan yang seringkali disebut dengan nasikh dan mansukh yang mengganti disebut nasikh sedangkan yang diganti disebut mansukh.
Oleh karena itu penulis mencoba menelusuri mulai pengertian, jenis-jenis nasikh dan mansukh. Serta pendapat para ulama baik yang menerima maupun yang menolak adanya nasikh dan mansukh dalam Al-Qur'an.

B.     Pengertian

Nasikh secara bahasa berasal dari kata nasakha – yansikhu – naskhan yang mempunyai arti membatalkan, menghilangkan, merendahkan dan memalingkan. Sedangkan secara terminologi dalam ulama Ushul Fiqh adalah:
النَّسْخُ رَفْعُ اْلحُكْمِ الشَّرْعِيِّ بِدَلِيْلٍ شَرْعِيٍّ
“Nasikh ialah menghilangkan atau menghapus hukum syara' dengan dasar syar’i yang terakhir”. (Abd. Hamid Hakim, As-Sulam, hal. 32).
Sehubungan nasikh dan mansukh secara umum bisa dibenarkan oleh akal dan tidak ada perbedaan di kalangan ulama Ushul Fiqh, kecuali perbedaan itu terjadi pada nasikh dan mansukh dalam Al-Qur'an. Sebab hukum itu diadakan untuk kebaikan manusia sedangkan manusia itu terus berubah, sesuai dengan zaman. Dengan demikian nasikh dan mansukh itu tidak terjadi sesuatu yang bersifat universal, seperti masalah akidah tidak akan terjadi nasikh dan mansukh, karena akidah itu ajaran Allah SWT. kepada manusia yang bersifat abadi.
Sebagaimana firman Allah SWT.:
شَرَعَ لَكُمْ مِنَ الدِّينِ مَا وَصَّى بِهِ نُوحًا وَالَّذِي أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ وَمَا وَصَّيْنَا بِهِ إِبْرَاهِيمَ وَمُوسَى وَعِيسَى... (الشورى: 13)
Artinya:  “Dia telah mensyari`atkan kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa…”. (QS. Asy-Syura: 13). (Lihat M. Abu Zahra, Ushul Fiqh, hal. 187).

C.    Macam-macam Nasikh dan Mansukh

Para ulama membagi nasikh dan mansukh itu secara umum sebagai berikut:
1.      Tulisannya hilang sedangkan hukumnya masih ada.
Contoh laki-laki dan perempuan yang sudah tua melakukan zina maka keduanya harus dirajam selama-lamanya.
Menurut Umar bin Khattab ra. bahwa beliau pernah membaca ayat tersebut tetapi ayat tersebut tulisannya sudah hilang tetapi hukum untuk itu masih berlaku hal ini sebagaimana hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Imam Syafi’i:

Artinya:  “Nabi Muhammad Saw. telah melakukan hukum rajam kepada dua orang mukhshan”.
Yang dimaksud dengan dua mukhshan di sini adalah dua orang tua yang melakukan zina.
2.      Hukumnya ada sedangkan bacaannya sudah tidak ada. Contoh firman Allah SWT. sebagai berikut:
وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا وَصِيَّةً لِأَزْوَاجِهِمْ مَتَاعًا إِلَى الْحَوْلِ غَيْرَ إِخْرَاجٍ ... (البقرة: 240)
Artinya:  “Dan orang-orang yang akan meninggal dunia dari kamu dan mereka meninggalkan isteri sebagai wasiat terhadap isteri-isteri mereka agar tidak berbuat senang-senang dan keluar rumah sampai setahun”. (QS. Al-Baqarah: 240)
Menurut sebagaimana ulama (yang mengakui adanya nasikh mansukh dalam Al-Qur'an) bahwa ayat tersebut telah dimansukh dengan ayat 234 dari surat Al-Baqarah.
وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا... (البقرة: 234)
Artinya:  “Dan orang-orang yang akan meninggal dunia dari kamu sedang mereka meninggalkan isteri hendaknya sang isteri menahan dirinya (tidak senang-senang dan tidak keluar rumah) selama empat bulan sepuluh hari”. (QS. Al-Baqarah: 234)
3.      Bacaan dan ketetapan hukumnya dimansukh bersama-sama
Contoh: Hadits Imam Muslim dari Aisyah:

Artinya:  “Anak yang satu susuan itu haram dinikahi jika telah menyusu sepuluh kali”.
Hadits ini telah dimansukh dengan hadits yang sama yaitu diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Aisyah yang artinya: “Anak yang satu susuan itu haram dinikahi jika telah menyusu lima kali susuan”.

D.    Syarat-syarat Terjadinya Nasikh Mansukh Secara Umum

Abdul Hamid Hakim dalam kitabnya As-Sulam halaman 32 memberikan syarat-syarat terjadinya nasikh mansukh sebagai berikut:
1.      Nasikh dan mansukh itu terjadi jika berhubungan dengan hukum, tidak berhubungan dengan keimanan atau akidah. Sebab keimanan atau akidah ini bersifat paten.
2.      Nasikh mansukh itu terjadi dengan dibatasi waktu tertentu.
3.      Bahwa nasikh itu harus terpisah baik tempat maupun waktu dengan yang dimansukh.
4.      Bahwa dalil yang terdapat dalam nasikh itu harus lebih kuat daripada dalil yang tidaklah dalam mansukh. Seperti hadits mutawatir dengan hadits ahad, hadits shahih dengan hadits dhaif, tidak terjadi sebaliknya. Hadits ahad menasikh kepada hadits mutawatir dan hadits dhaif menasikh hadits shahih.
Di samping itu menurut Abdul Hamid Hakim dalam kitab as-Sulam memberikan syarat-syarat nasakh dan mansukh sebagai berikut:
a.       Nasikh harus terpisah dari mansukh
b.      Nasikh harus lebih kuat atau sama kuatnya dengan mansukh.
c.       Nasikh harus berupa dalil-dalil syara'
d.      Mansukh tidak dibataskan kepada sesuatu waktu
e.       Mansukh harus hukum-hukum syara'.

E.     Pendapat Para Ulama Tafsir Hadits Nasikh Mansukh dalam Al-Qur'an

Para ulama tidak terjadi perbedaan pendapat masalah nasikh mansukh dalam hadits sebab secara faktual itu terjadi, namun mereka berbeda pendapat terjadinya nasikh dan mansukh dalam Al-Qur'an, untuk itu penulis akan menyampaikan pendapat-pendapat para ulama yang setuju maupun yang tidak setuju terhadap nasikh dan mansukh dalam Al-Qur'an serta argumen mereka masing-masing.
1.      Pendapat yang setuju adanya nasikh dan mansukh
Argumen yang mereka gunakan itu ada dua, baik berupa naqli maupun aqli:
a.       Dasar naqli
مَا نَنْسَخْ مِنْ ءَايَةٍ أَوْ نُنْسِهَا نَأْتِ بِخَيْرٍ مِنْهَا أَوْ مِثْلِهَا أَلَمْ تَعْلَمْ أَنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ (البقرة: 106)
Artinya:  “Ayat mana saja yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. Tiadakah kamu mengetahui bahwa sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu?”. (QS. Al-Baqarah: 106)
Ayat ini sering dijadikan dasar adanya nasikh dan mansukh dalam Al-Qur'an, karena memang dalam ayat ini Allah SWT. menyebut lafadz nasakha yang secara tekstual.
b.      Dasar aqli
Bahwa secara faktual nasikh mansukh itu terjadi, seperti nasikh mansukh terjadi pada surat Al-Baqarah ayat 240 dengan ayat 234 dan lain-lain sebagaimana contoh-contoh tersebut di atas.
Pendapat ini mayoritas diikuti oleh ulama fiqh dalam ulama Ushul Fiqh seperti Imam Syafi’i, Imam Abu Hanifah, dan lain-lain.
2.      Alasan ulama yang menolak adanya nasikh dan mansukh dalam Al-Qur'an
Mereka yang menolakpun juga menggunakan dua dasar, yaitu dasr naqli dan dasar aqli.
a.       Dasar naqli
Firman Allah SWT. dalam surat Al-Hijr ayat 9:
إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ (الحجر: 9)
Artinya:  “Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Qur'an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya (dari perubahan-perubahan)”. (QS. Al-Hijr: 9)
Firman Allah SWT. dalam surat Al-Kahfi ayat 27:
وَاتْلُ مَا أُوحِيَ إِلَيْكَ مِنْ كِتَابِ رَبِّكَ لَا مُبَدِّلَ لِكَلِمَاتِهِ وَلَنْ تَجِدَ مِنْ دُونِهِ مُلْتَحَدًا (الكهف: 27)
Artinya:  “Dan bacakanlah apa yang diwahyukan kepadamu, yaitu kitab Tuhan-mu (Al Qur'an). Tidak ada (seorangpun) yang dapat mengubah kalimat-kalimat-Nya. Dan kamu tidak akan dapat menemukan tempat berlindung selain daripada-Nya”. (QS. Al-Kahfi: 27)
b.      Dasar aqli
Bahwa tidak satu pun Al-Qur'an maupun hadits yang menjelaskan tentang adanya nasikh dan mansukh ini. Terjadinya nasikh dan mansukh (ayat ini dimansukh oleh ayat yang lain) itu hanya ijtihadi tidak secara qath’i yang menjelaskan tentang hal itu, bahwa ayat Al-Qur'an merupakan wahyu Allah SWT. yang diturunkan kepada manusia untuk kepentingan manusia itu dalam segala masa dan tempat, berlakunya tidak dibatasi oleh ruang dan waktu, semua Al-Qur'an baik tulisan maupun redaksinya semaunya adalah mutawatir serta setiap lafadz, surat adalah merupakan mukjizat baik makna maupun redaksinya. Oleh karena itu mereka mengatakan bahwa nasikh dan mansukh itu menyalahi asalnya.
Dengan demikian selama mungkin untuk bisa diinterpretasi yang lain (thariqatul jam’i) maka inilah yang harus ditempuh, seperti kasus terjadi dalam surat Al-Baqarah ayat 240 dan ayat 234. Maka pengertian untuk ayat 240 itu bersifat hak, artinya boleh diambil hak itu dan juga boleh tidak diambil. Sedangkan dalam ayat 234 itu bersifat kewajiban. Demikian juga pengertian yang terdapat dalam surat Al-Baqarah 107 pengertiannya bukan Allah SWT. mengganti hukum yang dalam Al-Qur'an tetapi Allah SWT. mendatangkan Nabi yang lebih baik atau yang sepadan dengan nabi-nabi sebelumnya. Jadi bukan terkait dengan hukum tetapi terkait dengan pergantian antara nabi satu dengan nabi yang lainnya.
Pendapat ini adalah pendapat ulama kontemporer seperti Muhammad Abduh, Rasyid Ridla, dan lain-lain.

0 Response to "NASIKH DAN MANSUKH DALAM AL-QUR'AN "

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel