MUTHLAQ DAN MUQAYYAD
A. Pengertian Muthlaq dan Muqayyad
Muthlaq adalah sifat yang menunjukkan arti yang sebenarnya dengan tidak
dibatasi oleh sesuatu hal yang lain. Maksudnya ialah lafal tersebut masih dalam
keadaan yang asli bebas belum terpengaruhi oleh hal-hal yang lain.
Contoh: surat
An-Nisa’ ayat 43:
...وَإِنْ
كُنْتُمْ مَرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ
أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا
طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ...(النساء: 43)
Artinya: “…Dan
jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau kembali dari tempat buang air
atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, maka
bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu…”. (QS. An-Nisa’: 115).
Dari lafadz Aidikum dijelaskan bahwa mengusap tangan dengan debu
tidaklah dibatasi dengan sifat, artinya tidak diterangkan sampai di mana,
apakah semuanya diusap atau sebagiannya. Yang jelas sudah pasti dapat tayamum
harus mengusap tangan dengan debu. Jadi lafal Aidikum artinya tanganmu
ini tidak dibatasi sampai dengan di mana yang harus diusap, mana saja asal
tangan.[1]
Muqayyad adalah lafal yang menunjukkan arti yang sebenarnya, dengan dibatasi
oleh sesuatu hal yang dari batasan-batasan tertentu.
Contoh surat
Al-Maidah ayat 6:
...
وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ... (المائدة: 6)
Artinya: “…Maka
basuhlah mukamu dengan tanganmu sampai siku-siku…”. (QS. Al-Maidah: 6).
Ayat ini menerangkan soal wudhu, ialah harus membasuh muka dan tangan
sampai siku-siku.[2]
B. Hubungan Muthlaq dengan Muqayyad
Apabila ada suatu lafal, disatukan tempat berbentuk muthlaq sedang di
tempat lain berbentuk muqayyad, maka ada empat kemungkinan dari ketentuannya:
1.
Antara dua
ayat itu ada persamaan dari segi hukum dan sebab timbulnya hukum. Contohnya surat Al-Maidah ayat 3
ditegaskan: “Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi…”.
Kata ad-dam (darah) dalam ayat tersebut adalah lafal muthlaq karena
tanpa membedakan apakah darah itu telah mengalir dari daging atau yang tidak
mengalir, seperti sisa-sisa darah yang terdapat dalam daging. Sedangkan dalam
ayat lain lafal ad-dam dikemukakan dengan batasan sifat (muqayyad)
seperti dalam surat
Al-An’am ayat 145. Kata dam (darah) yang diharamkan dalam ayat itu
adalah lafal muqayyad karena dibatasi dengan masfuh (mengalir). Hukum
yang ditunjukkan dua ayat itu adalah sama, yaitu haramnya darah, dan sebab
mengapa darah diharamkan juga sama, yaitu memberi mudharat. Oleh karena sama
hukum dan sebabnya.
2.
Antara dua
ayat itu mempunyai kesamaan dari segi hukum tetapi berbeda daru segi sebab
timbulnya hukum. Contohnya surat
Al-Mujadalah 1yat 3 ketika menjelaskan kafarat zihar, Allah SWT.
berfirman: “…fatahrir raqabah (maka wajib [atasnya] memerdekakan seorang
hamba sahaya)…”. Sedang dalam kafaratnya pembunuhan tersalah firman Allah
SWT. dalam surat
An-Nisa’ ayat 91: “… Fatahriru raqabah mu’minah… (maka [hendaklah] ia
memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman)”. Lafal raqabah (hamba
sahaya) pada ayat pertama adalah muthlaq, sedangkan ayat kedua adalah muqayyad
(dibatasi) dengan sifat beriman. Masing-masing mempunyai sebab yang berbeda
dengan yang lain. Pada ayat pertama sebab kewajiban membayar kafarat adalah zihar
dan pada ayat kedua sebabnya adalah pembunuhan tersalah. Tetapi hukumnya
adalah sama, yaitu kewajiban memerdekakan budak (hamba sahaya).
3.
Dua ayat itu
sebabnya sama tetapi bentuk hukumnya berbeda. Contohnya surat Al-Maidah ayat 6, ketika menjelaskan
cara bertayamum ditegaskan: “…sapulah mukamu dan tanganmu (aidikum) dengan
tanah itu…”. Dalam ayat ini menyapu tangan disebut secara muthlaq tanpa
mensyaratkan sampai ke siku, dan dalam ayat yang sama ketika menjelaskan
rukun-rukun wudhu ditegaskan: “… maka basuhlah [aidikum ila al-marafiq]
(tanganmu sampai dengan siku)…”. Lafal aidi (tangan) pada masalah
wudhu disebut muwayyad dengan membatasinya sampai ke siku. Yang menjadi sebab
wajib wudhu dan wajib tayamum adalah sama, yaitu suci dari hadats, tetapi
bentuk hukumnya berbeda di mana pada tayamum tangan disapu, bukan dibasuh
seperti rukun wudhu.
4.
Dua ayat itu
berbeda hukum dan sebabnya. Misalnya, sanksi hukum mencuri adalah potong tangan
(QS. 5: 38) tanpa ada ketentuan sampai di mana harus dipotong. Sedangkan kata aidi
(tangan) pada ayat wudhu diisyaratkan sampai ke siku. Sebabnya berbeda di
mana yang satu sebabnya mencuri dan yang lain untuk mengilangkan hadats. Hukumnya juga berbeda, diaman yang satu potong
tangan dan yang lain membasuhnya. Oleh karena berbeda dari berbagai sisinya,
maka ayat tersebut dipahami secara tersendiri.[3]
C. Pengertian Mujmal dan Mubayyan
Menurut Dr. Zukuyuddin Tsa'ban, mujmal adalah lafal yang belum jelas
maknanya yang tidak dapat menunjukkan arti yang sesungguhnya apabila tidak ada
keterangan lain yang menentukannya. Maksudnya ialah lafal yang belum jelas
artinya, belum jelas maksudnya yang masih membutuhkan bayan atau penjelasan
dari lainnya.
Contohnya surat
Al-Baqarah ayat 228:
وَالْمُطَلَّقَاتُ
يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ وَلَا يَحِلُّ لَهُنَّ أَنْ
يَكْتُمْنَ مَا خَلَقَ اللَّهُ فِي أَرْحَامِهِنَّ إِنْ كُنَّ يُؤْمِنَّ بِاللَّهِ
وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ... (البقرة: 228)
Artinya: “Wanita-wanita
yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru. Tidak boleh
mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka
beriman kepada Allah dan hari akhirat…”. (QS. Al-Baqarah: 228).
Lafal quru’ dalam ayat ini, masih mujmal, belum jelas mungkin bisa
diartikan suci dan mungkin bisa diartikan haidh, oleh karena itu harus ada
dalil lain yang menjelaskannya.
Mubayyan adalah kebalikan dari mujmal, yaitu lafal yang telah mempunyai
arti yang jelas dan terang. Artinya lafal tadi sudah jelas dalilnya tidak
membutuhkan kepada bayan (penjelasan).
Contohnya surat
Al-Baqarah ayat 20:
...إِنَّ اللَّهَ
عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ (البقرة: 20)
Artinya: “…Sesungguhnya Allah berkuasa atas segala
sesuatu”. (QS. Al-Baqarah: 20).
Di dalam ayat di atas
menunjukkan bahwa yang dimaksud ayat ini ialah, bahwa Allah lah yang dipercayai
umat Islam yang berhak disembah dan dimintai pertolongan, selain Allah tidak
ada dan tidak boleh. Jadi jelas bahwa Allah Maha Kuasa tidak membutuhkan bayan
(penjelasan) lagi.[4]
[1] H. Ahmad Abd, MA., Ushul Fiqh (Surabaya:
Garoeda Buana Indah, 1994), 149.
[2] H. Ahmad Abd, MA., Ushul Fiqh (Surabaya:
Garoeda Buana Indah, 1994), 150.
[3] Abdul Azis Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam
(Jakarta: Ictiar Baru Van Hoeve, 1996), 1271.
[4] H. Ahmad Abd, MA., Ushul Fiqh (Surabaya:
Garoda Buana Indah, 1994), 158.
0 Response to "MUTHLAQ DAN MUQAYYAD"
Post a Comment