Recent Posts

KONTRADIKSI DALIL-DALIL SYARA' DAN CARA PENYELESAIANNYA






A.    Definisi At-Ta’arudh

Kata “at-Ta’arudh” (التعارض) secara etimologis ialah kata yang terbentuk dari kata dasar “aradha” (عرض) yang arti bahasanya adalah menghalangi, mencegah, membandingi.
Secara terminologi “at-Ta’arudh” menurut definisi ulama/shli ushul adalah (تقابل الامراين على وجه يمفع كل منهما مقتض) “Berbandingannya dua dalil (perkara), di mana masing-masing pernyataan saling bertentangan”.[1]
Sedangkan (الادلة) adalah bentuk plurat (jama’) dari kata “dalil” (الدليل). Menurut ahlu ushul, yang disebut dalil ialah suatu yang dapat menghantarkan pada apa yang dicari yang bersifat pasti dan yakin atau praduga. Jika yang menghantarkan itu bersifat pasti (qath’i), maka itu disebut (الدليل) (dalil/petunjuk). Namun apabila sesuatu yang menghantarkan itu bersifat praduga (dzanni), maka itu disebut (الامارة) (amarah/tanda).

B.     Syarat-syarat At-Ta’arudh

Untuk mengetahui apakah dalil itu At-Ta’arudh atau tidak kita harus mengetahui terlebih dahulu syarat-syarat dan ijma (kesepakatan) para ahli ushul tentang At-Ta’arudh. Agar kita tidak terlalu mudah mengatakan dalil ini At-Ta’arudh dengan dalil yang lainnya.
Syarat-syarat tersebut adalah:
1.      Hukum yang ditetapkan oleh kedua dalil tersebut saling bertentangan, seperti halal dengan haram, wajib dengan tidak wajib, menetapkan dengan meniadakan.
2.      Obyek (tempat) kedua hukum yang saling bertentangan tersebut sama.
3.      Masa atau waktu berlakunya hukum yang saling bertentangan tersebut sama. Apabila sama atau waktunya berbeda, maka tidak berlaku At-Ta’arudh.
4.      Hubungan kedua dalil yang saling bertentangan sama
5.      Kedua dalil yang saling bertentangan sama kedudukannya, baik dari segi asalnya maupun petunjuk dalilnya.
Menurut Abd. Hamid Hakim, ada 13 syarat nash itu dianggap bertentangan, yaitu:
  1. Tema sama
  2. Kandungan/muatannya sama
  3. Waktunya sama
  4. Tempat sama
  5. Hubungan sama
  6. Syaratnya sama
  7. Pekerjaan sama
  8. Bagian-bagian sama
  9. Alatnya sama
  10. Illatnya sama
  11. Sasarannya sama
  12. Keadaannya sama
  13. Tanggungannya sama
At-Ta’arudh ini terjadi jika:
1.      Yaitu sama-sama qath’i sukuti, Al-Qur'an dengan Al-Qur'an, hadits mutawatir dengan mutawatir, maka tidak bisa bertentangan yaitu ayat dengan hadits.
  1. Kehendak dasar/dalil itu sama, maka tidak akan terjadi At-Ta’arudh yaitu hadits ahad dengan hadits mutawatir.
  2. Tidak akan terjadi, At-Ta’arudh jika hukumnya sama, sementara waktu dan tempat berbeda.
Selain mengetahui syari'ah yang tersebut di atas, kita juga harus mengetahui kaidah ijma’ ahli ushul tentang At-Ta’arudh, yaitu:
1.      Pertentangan tidak terjadi pada dalil-dalil qath’i dengan dalil-dalil dzanni. Karena dalil qath’i menunjukkan kepastian dan yakin, sedangkan dalil dzanni menunjukkan praduga atau keraguan.
  1. Pertentangan itu tidak dapat terjadi antara dua dalil qath’i, baik dalil-dalil tersebut berbentuk naqli maupun aqli.
  2. Pertentangan boleh terjadi antara dua dalil dzanni dalam pandangan dan pemikiran seorang mujtahid.

C.    Contoh Dalil-dalil Seakan-akan Bertentangan

  1. Tentang bacaan Al-Fatihan di dalam shalat
QS. Al-Muzammil: 20.
فَاقْرَءُوا مَا تَيَسَّرَ مِنَ الْقُرْءَانِ
“(Karena itu) bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al-Qur'an”
QS. Al-A’raf: 204
وَإِذَا قُرِئَ الْقُرْءَانُ فَاسْتَمِعُوا لَهُ وَأَنْصِتُوا لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ
“Dan apabila dibacakan Al Qur'an, maka dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat rahmat”.
  1. Tentang iddah wanita yang ditinggal mati suami.
QS. Al-Baqarah: 234
وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا
“Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah ia) menangguhkan dirinya (ber`iddah) empat bulan sepuluh hari”.
QS. Ath-Thalaq: 4
وَاللَّائِي يَئِسْنَ مِنَ الْمَحِيضِ مِنْ نِسَائِكُمْ
“Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya”.


  1. Tentang pembunuhan terhadap orang murtad
Sabda Rasulullah Saw.:
“Barang siapa mengganti (berpindah) agama, maka bunuhlah (dia)” (HR. Bukhari, Turmudzi, dan lain-lain).
Dengan larangan membunuh anak-anak dan wanita.
“(Rasulullah Saw.) melarang membunuh wanita-wanita dan anak-anak”.
  1. Tentang perintah Allah mengikuti Nabi Saw.
QS. Al-Ahzab: 21
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu…”.
QS. Al-Hasyr: 7
وَمَا ءَاتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا
“Apa yang diberikan Rasul padamu, maka terimalah dia, dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah”.
  1. Tentang batal tidaknya shalat karena menyentuh alat kelamin.
Sabda Rasulullah Saw.:
“Dari Abu Hurairah ra. berkata: Rasulullah telah bersabda: “Baraqng siapa yang menjulurkan tangannya pada alat kelaminnya tanpa penghalang, maka ia wajib wudhu” (HR. Ahmad, Ibnu Hibban).
Dengan hadits riwayat Turmudzi, Abu Dawud, Nasa’i, Ibnu Majjah, Ahmad dan daraquthni:
“Rasulullah Saw. (pernah) ditanya tentang (hukumnya) menyentuh alat kelamin, kemudian beliau menjawab: “ia tiada lain kecuali bagian anggota tubuhmu”.

D.    Pentarjihan Dalil-dalil At-Ta’arudh

Secara etimologis, kata “at-tarjih” (الترجيح) adalah bentuk masdar dari “rajjaha” (رجح) artinya mengunggulkan sesuatu dengan lebih condong padanya dan memenangkannya.
Secara terminologi tarjih adalah “menguatkan salah satu dalil atas lainnya agar dapat diketahui mana dalil yang lebih kuat diamalkan dan menggugurkan dalil lainnya”.
Pertama QS. Al-Muzammil: 20 dengan QS. Al-A’raf: 204.
Ayat pertama sifat ‘amnya menunjukkan adnaya kewajiban membaca bagi ma’mum. Sedangkan ayat ekdua menggugurkan kewajiban membaca bagi ma’mum, karena ayat tersebut hanya mewajibkan untuk mendengar dan memperhatikan. Menurut mayoritas ahli tafsir, kedua ayat turun berkenaan dengan masalah shalat. Karena kedua ayat bertentangan maka harus mencari dalil lain yang kedudukannya lebih rendah sebagai dasar beramal.
Hadits Rasulullah Saw.: “Tidak ada shalat kecuali dengan membaca Al-Fatihah)” (HR. Jamaah).
Dan hadits dari Jabir ra.
“Barang siapa shalat berjamaah, maka bacaan imam juga bacaannya”. (HR. Tabrani).
Pentarjihan
Agar ayat dan hadits-hadits mengenai hal ini tidak saling bertentangan. Bila shalat berjamaah, dan imam membaca dengan keras, ma’mum tidak membaca, karena ma’mum berkewajiban untuk mendengarkan, serta ia merupakan kesempurnaan berma’mum. Tapi bila imam membaca dengan sir, maka berlaku hukum wajibnya membaca Al-Fatihah.[2]
Kedua, QS. Al-Baqarah: 234 dengan QS. Ath-Thalaq: 4.
Kedua ayat di atas kelihatan bertentangan, mengenai iddah wanita yang ditinggal mati suami. Ada dua cara untuk mentarjih ayat tersebut sehingga tidak bertentangan:
  1. Dipandang dari sudut ‘am dan khususnya ayat
QS. Al-Baqarah: 234 berlaku secara ‘am (umum), sedangkan QS. Ath-Thalaq: 4 berlaku khusus. Yaitu ayat pertama menyatakan iddahnya wanita yang ditinggal mati suami secara umum, sedangkan ayat kedua berlaku khusus yang berlaku bagi wanita yang dicerai dalam keadaan hamil, maka iddahnya sampai ia melahirkan.


  1. Sebagian ulama berpendapat, bahwa kedua ayat tersebut dapat diamalkan sekaligus. Mereka berpendapat bahwa iddahnya wanita yang ditinggal mati suaminya dalam keadaan hamil adalah smapai ia melahirkan, sedangkan wanita yang ditinggal mati suami serta tidak hamil berlaku iddah selama empat bulan sepuluh hari.
Ketiga, hadits tentang perintah membunuh orang yang murtad.
Kedua hadits tersebut tidak bisa kita anggap bertentangan karena asbabun nuzul hadits berbeda. Hadits pertama mengenai orang yang murtad, sedangkan hadits kedua muncul berkenaan dengan kode etik perang dalam Islam. Oleh karena itu, hadits pertama berlaku secara umum. Apakah ia wanita atau anak-anak selama ia murtad dari agama Islam berlaku hukum bunuh.
Keempat, QS. Al-Ahzab: 21 dengan QS. Al-hasyr: 7
Kedua ayat ini sekilas terlihat bertentangan. Ayat pertama mewajibkan mengikuti segala perbuatan Nabi, di satu sisi kita diperintahkan untuk mengikuti atau menjalankan segala perintah nabi dan menjauhi segala yang beliau larang. Oleh karena itu, tidak semua perbuatan Nabi itu harus diikuti, tetapi menurut ahli fiqh perbuatan Nabi tersebut bisa diikuti jika ada petunjuk untuk meniru perbuatan Nabi. Sedangkan perbuatan Nabi yang tidak didasarkan pada watak atau tabi’at kemanusiaannya merupakan perundang-undangan (syari'at).


Kelima, hadits mengenai menyentuh alat kelamin.
Dalam hal ini ulama terbagi menjadi dua kelompok, dalam penggunaan kaidah “apabila ada dua hadits yang saling bertentangan, harus menggugurkan salah satu dalil atau mendasarkan hukum asalnya (bara’ah ashliyah).
  1. Kelompok pertama, berpendapat bahwa menyentuh kemaluan adalah membatalkan wudhu. Ini dianut mayoritas ulama. Mereka berpendapat bahwa hadits yang menggugurkan ketentuan hukum berdasarkan hukum asalnya lebih diunggulkan. Dan Bukhari berkomentar: dalam masalah ini, pendapat inilah yang benar.[3]
  2. Kelompok kedua yang mengatakan tidak batal menyentuh kemaluan, banyak dipegangi/dijadikan dalil oleh madzhab Hanafi, serta didukung i sebagian ulama ushul seperti ar-Razi dan al-Baidhawi.
Ar-Razi dan pengikutnya berpendapat bahwa hadits kedua lebih unggul dengan demikian hadits pertama. Karena harus kedua menetapkan suatu hukum berdasarkan hukum asalnya. Hukum asal datang lebih akhir, maka tentu tidak berguna. Dengan datangnya hadits kedua berarti hadits yang pertama tidak dibutuhkan lagi, karena pada waktu kita mengetahui ketentuan hukum itu berdasarkan dalil lain, yaitu bara’ah ashliyah atau istishab.




[1]   Al-Asmuni, 24.
[2]   Muhammad Nashiruddin al-Albani, Sifat Shalat Nabi Saw., hal. 121-124.
[3]   Lih, Bulughul Maram, Bab: yang membatalkan wudhu, 6-7.

0 Response to "KONTRADIKSI DALIL-DALIL SYARA' DAN CARA PENYELESAIANNYA"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel