PEMIKIRAN MUHAMMADIYAH
A. Pemikiran di Bidang Teologi
Teologi Muhammadiyah sering dinyatakan terpengaruh oleh
teologi atau pemikiran Muhammad Abduh. Menurut Harun Nasution, Muhammadiyah
banyak dipengaruhi oleh pemikiran tradisional Rasyid Ridha. Ia menyatakan bahwa
perbedaan metode berfikir yang terdapat antara Muhammad Abduh sebagai guru dan
Rasyid Ridha sebagai murid tidak banyak diungkapkan sehingga timbul anggapan
bahwa Rasyid Ridha adalah murid yang setia pmenganut paham-paham Muhammad
Abduh. Dari sinilah timbul pendapat bahwa Muhammadiyah banyak dipengaruhi
pemikiran rasional Muhammad Abduh. Sementara Rayid Ridha pemikir yang masih
terikat dengan Hanabilah atau dalam pemikirannya selalu kembali pada Muhammad
bin Abdul Wahab dan Ibnu Taimiyah. Ia masih tergolong tradisional dari segi
teologi atau lebih tepatnya menurut aliran salaf. Itu berarti bahwa
Muhammadiyah juga menganut aliran salaf.
Sejalan dengan Nasution Arbiah Lubis dalam disertai
(sekarang sudah diterbitkan oleh Bulan Bintang) membuktikan bahwa sepanjang
persoalan teologi, Muhammadiyah tidaklah mengikuti Abduh sama sekali lebih
jauh, setelah membandingkan kalam Abduh dan Muhammadiyah Lubis berkesimpulan
bahwa tidak ada kesamaan diantara keduanya. Jika teologi Abduh bersifat
Rasional dan karena itu lebih dekat kepada sistem teologi Muktazilah,
sebaliknya teologi Muhammadiyah adalah teologi tradisional dan sebab itu lebih
dekat kepada sistem teologi Asy’ariyah. Namun demikian, Lubis juga mengakui
bahwa tidak semua tokoh Muhammadiyah sependapat dengan akidah yang dianut oleh
Muhammadiyah, seperti Hamka.
Sementara Azzumardi Azra melihat bahwa pandangan dunia
Muhammdiyah merupakan semacam perpaduan antara “konsepsi kalam (teologi)”
Muhammadiyah dengan perspektif “kemodernan”. Bahkan perspektif “modernitas”
inilah yang kelihatan menonjol dalam Muhammadiyah sehingga kemudian disebut
organisasi “modern”, meskipun dalam segi tertentu Muhammadiyah tidak sepenuhnya
kompatibel dengan medernitas. Karena itu, Azra menyebutnya dengan “teologi
modernitas”.
Dalam perspektif tersebut Azra tidak sepenuhnya
menerima atau menolak pandangan bahwa pemikiran Muhammadiyah dipengaruhi oleh
pemikiran Abduh. Pandangan ini berkaitan dengan kenyataan bahwa sama seperti
Abduh, Muhammadiyah sangat menekankan pada pengembangan Ijtihad. Sebaliknya
sangat mengecam sikap taklid. Pada saat yang sama, mereka juga menolak
“bid’ah”, “khurafat”, dan “takhayul”. Tetapi azra juga mengakui bahwa
Muhammadiyah tampak pada bidang “Sosioreligius”. Kenyataan ini tampak pula pada
tokoh-tokoh “modern” yang menjadi sumber inspirasi pemikiran teologi
Muhammadiyah. Penekanan para pemikir “Modern” tersebut terhadap ijtihad dan
sekaligus penolakan terhadap taklid. Meskipun demikian, Muhammadiyah cenderung
bersikap resistan dan canggung dalam menghadapi segala modernitas, terutama
dalam masalah yang berkaitan dengan teologis. Misalnya enolakan Muhammadiyah
terhadap keluarga berencana (KB) dan sebaliknya memperkenalkan konsep keluarga
sejahtera. Hal ini kata Azra disebabkan oleh penekanan kuat Muhammadiyah pada
“teologi salafi”, sebuah isdeologi keagamaan yang “bersahaja”. Untuk tidak
menggunakan istilah “ptimitif”, sebagaiaman dipakai oleh sosiolog Robert N.
Bellah.
Untuk mengkaji secara objektif teologi Muhammadiyah,
berikut ini dikemukakan tiga masalah pokok dalam pembahasan teologi, yakni
sifat-sifat Tuhan, qada dan qadar dan perbuatan manusia. Dalam himpunan putusan
Tarjih (HPT), dinyatakan bahwa Tuhan memiliki sifat-sifat sebagai dikenal dalam
teologi asy’ariyah. Dalam bab qada dan qadar dinyatakan bahwa segala perbuatan
manusia atas qadadan qadar manusia tidak berhak menentukan perbuatannya, ia
hanya dapat berusaha: perbuatan ditinjau dan sisi manusia adalah merupakan kasb
(perolehan) baginya sedangkan dari sisi Tuhan ia merupakan ciptaannya. Dengan
demikian, dapat dinyatakan bahwa dari dekat kepada teologi asy’ariyah yang
tradisional ketimbang teologi Muhammadiyah, dilihat dari segi ideologisnya
lebih dekat kepada teologi asy’ariyah yang tradisional ketimbang teologi
muktazilah yang rasional. Tetapi pada tataran praktis banyak kalangan
Muhammadiyah lebih dekat pada teologi rasional mutazillah atau Muhammad Abduh.
Dengan mempertimbangkan kenyataan diatas dan
kompleksitas perkembangan sosiologis yang ada baik pada tingkat masyarakat
muslim sendiri maupun pada tingkat masyarakat internasional secara keseluruhan,
diperlukan rekonstuksi teologi Muhammadiyah yang mampu memberikan ruang
ekspresi yang lebih luas bagi pemenuhan kebutuhan-kebutuhan dan tantangan
spiritualitas masyarakat muslim. Meskipun hal itu tidak mudah dan tidak
sederhana tetapi Muhammadiyah hendaknya tidak bertumpu pada kalam salafiyah dan
teologi asy’ariyah dan bahkan teologi modernitas, seperti dikatakan oleh Azra.
B.
Pemikiran di Bidang Ibadah
Pembaharuan atau lebih tepat pemurnian yang dilakukan oleh
Muhammadiyah dalam bidang ibadah adalah penolakan dan tekap anti terhadap
bid’ah, sebagaimana penolakan dan tekap perberantasan terhadap khurafat
istimbat yang dipeganngi oleh Muhammadiyah pada awalnya Muhammadiyah hanya
berpegang pada Al-Qur'an dan Hadits Al-Sahihah, serta ushul fiqh mengikuti
kepada salah satu aliran yang dianggap kuat (1928).
Pada tahun 1971, metode tersebut disempurnakan dan pernyataan
ushul fiqh mengikut kepada salah satu aliran yang dianggap kuat yang telah
dihapuskan dan menampilkan 3 sumber yaitu Al-Qur'an, hadits dan persamaan
“illat” atau qias. Penetapan ketiga umber sebagai kaidah tarjih tersebut
tampaknya didorong oleh keinginan untuk salah satu madzhab fiqh. Namun pada
perkembangan selanjutnya, Muhammadiyah menggunakan ijma’ istihsan, maslahat
mursalah dan sadd al zari’ah sebagai
pendukung atas ketiga sumber tersebut. Hal itu menunjukkan bahwa Muhammadiyah
memiliki metode istimbat tersendiri, tidak terikat pada metode madzhab
tertentu, tetapi tidak terlepas dari metode madzhab yang ada.
Pada sisi lain penetapan hadits atau al-sahihah al-sahihah
sebagai sumber hukum agaknya tidak konsisten digunakan sebagaimana istilah “al-sahihah”
dalam kegiatan penelitian hadits sebab dalam batas-batas tertentu yang
memiliki Qarinah, hadits mursal sahabi, mursal tabi’i dan bahkan hadits da’if
yang tidak bertentangan dengan Al-Qur'an dan hadits sahih ditoleriri.
Kerancuan istilah al-sunnah al-ashihah dalam istilah
Muhammadiyah dan dalam istilah takhrij al-hadits, maka pada Munas Majlis Tarjih
XXIV di Malang, ditegaskan bahwa sumber ajaran Islam adalah Al-Qur'an dan
Al-Sunnah Al-Maqbulah. Istilah al-sahihah diubah menjadi al-maqbulah namun perubahan ini tidak berarti
bahwa problema mengenai cakupan istilah dan konsistensi Muhammadiyah dalam
menggunakan hadits Nabi Berakhir. Dinyatakan demikian karena kriteris al-sunnah
al-maqbulah tidak disepakati oleh kalangan ulama haditsshahih sebagai
hadits yang maqbulah, tetapi
sebagian ulama di samping memasukkan
ketiga kriteria hadits tersebut juga memasukkan hadits maukuf, hadits mursal
dan bahkan hadits daif tertentu dalam kategori hadits maqbulah. Muhammadiyah cenderung sependapa dengan pendapat
yang disebutkan terakhir.
Selanjutnya, ditegaskan bawa pemahaman terhadap kedua sumber
tersebut dilakukan secara komprehensif, integralistik, baik dengan pendekatan
tekstual maupun kontekstual; peran akal dapat diterima dalam memahami teks
Al-Qur'an dan al-sunnah. Tetapi jika bertentangan dengan zahir nash diupayakana
penyelesaian dengan takwil. Adapun ijma’, qiyas masalah mursalah dan urf
merupakan teknik dalam penetapan hukum.
Berdasarkan kenyataan di atas, maka dapat dimaklumi kalau
Muhammadiyah (dari segi ibadah) dalam tataran prsktis ada perbedaan antara
masa-masa awal berdirinya dan pada perkembangan selanjutnya. Muhammadiyah pada
masa sekarang lebioh teleran terhadap perbedaan-perbedaan, khususnya dalam
masalah khalifah, dibandingkan dengan Muhammadiyah pada awal berdirinya. Namun
demikian, lingkungan Muhammadiyah, tekat untuk memberantas bid’ah tidak
berubah. Hal ini, antara lain dapat dilihat pada hasil Munas Majlis Tarjih di
Malang, bahwa shalat sunnat ikhram tidak ada dasarnya karena ikhram Nabi
dilakukan setelah shalat zuhur dan usulan prinsip-prinsip penafsiran, yakni
pada point pertama dinyatakan, “Menghindarkan bid’ah apapun dalam tafsir yang
berkaitan dengan ibadah.” Adapun pembaharuan di bidang ibadah, antara lain:
Mengenai zakat harta atau benda yang tidak disebutkan
di dalam nash, seperti ayam, investasi tanah, ikan dan sebagainya dimasukkan di
dalam tijarah. Hal ini perlu pengkaji; lebih mendalam serta zakat harta yang
tidak disebutkan dalam nash, disamping dapat dimasukkan di dalam tijarah, juga
dapat dimasukkan dalam musara’ah.
Berdasarkan uraian di atas dapat dinyatakan bahwa
Muhammadiyah masih dapat digolongkan sebagai gerakan tajdid, sebagaiamana
pertama kali ia muncul. hanya saja, kesan kelambanan dan kemandekan hendaknya juga
tidak dapat dipungkiri, misalnya bagaiamana hukum shalat kena macet tidak dan
bagaimana ketentuan zakat profesi. Oleh karena itu Muhammadiyah tidak terjebak
pada rutinitas dalam mengurus berbagai amal usahanya, tetapi dengan sikap
progresif dalam berbagai bidang.
C.
Pemikiran Bidang Etika
Prinsip Islam yang lain ditekankan oleh Muhammadiyah
ialah prinsip akhlak. Prinsip ini menunjukkan kualitas jiwa yang secara spontan
mendorong perbuatan baik dan buruh. Para pemimpin Muhammadiyah memandang akhlak
yang mulia sebagai aspek penting dalam membangun karakter setiap individu.
Dengan mempertimbangkan kewajiban-kewajiban orang Islam terhadap Tuhan dan
masyarakat, setriap orang dituntut untuk memiliki kualitas tersebut. Dalam misi
mereka, pemimpin gerakan tidak hanya berusaha menanamkan nilai-nilai moral
semacam itu tetapi juga mengembangkannya sebagai etika sosial dan sebagai
bagian tak terpisahkan dari karakter gerakan. Etika ini dirumuskan pada periode
Haji Mas Mansoer (1936-1942). Dinyatakan pada saat itu bahwa aplikasi
nilai-nilai etika yang baik tidak akan menghasilkan buah jika mereka tidak didasarkan pada kepasrahan kepada Tuhan (tawakal).
Kualitas moral yang lain seperti amanah,
kebajikan, cinta sesama, konsisten dalam menepati janji dan keikhlasan,
merupakan komponen-komponen penting dari etika ini dalam pandangan
Muhammadiyah.
Penekanan pada awal abad ke-20, Hingga saat itu, Islam
didominasi oleh orientasi yang kuat kepada fiqh, yang menekankan pada
soal halal dan haram lebih banyak ketimbang pada soal-soal yang lain.
Akibatnya, apa yang disebut Islam Mapan resmi muncul, dan mempresentasikan
pemahaman keagamaan yang berpusat di sekitar fiqh. Penafsiran yang sempit
terhadap dalam Islam resmi sangat sentral sehingga ulama tidak beberapa abad.
Posisi fiqh dalam Islam resmi sangat sentral sehingga ulama tidak berhak
disebut ‘alim kecuali jika ia menguasai fiqh. Karena eratnya hubungan anatar
Islam dan fiqh sehingga, di mata kelompok Islam mapan, tidak ada ilmu
selain fiqh yang dianggap berguna.
Salah satu kualitas moral yang paling penting yang
ditekankan oleh pemimpin Muhammadiyah adalah ke ikhlasan dengan iman,
keikhlasan merupakan salah satu fondasi dasar gerakan ini. Kualitas moral yang
disebut oleh beberapa orang sebagai semangat beramal ini mendorong usaha-usaha
yang terus tumbuh dalam gerakan ini. Ahmad Dahlan menyebutnya inti (core)
dan tindakan. Dalam kata-katanya:
Semua manusia secara emosional mati mereka yang punya
pengetahuan; ulama akan mengalami kebingungan kecuali mereka yang mengamalkan
pengetahuan mereka; dan mereka yang melakukan amal nyata semuanya rugi kecuali
mereka yang ilhlas dan jujur.
Sebagai dasar perbuatan, ikhlas membawa kepada setiap
perbuatan suatu niat baik dan kasih sayang. Dedikasi generasi awal gerakan ini
untuk merealisasi cita-citanya dimotivasi oleh semangat ini, dan dalam beberapa
hal, dimatangkan oleh tantangan, reaksi dan tanggapan yang bermacam-macam dari
masyarakat. Kematangan ini mengakibatkan tumbuhnya kesabaran dalam pikiran para
aktifis, yang memungkinkan mereka menghindari peranan putus asa ketika
menjalankan misi mereka.
Ciri
menonjol etika Muhammadiyah ialah seruannya kepada setiap muslim untuk mengabdi
kepada Tuhan dan sesama umat manusia. Di dalam sebuah keluarga atau masyarakat
setiap individu berada dalam hubungan sosial dengan Tuhan dan masyarakat
Indonesia. Hubungan ganda ini memotivasi tanggug jawab soalnya, dan memulai
hubungan ini ia dikaitkan dengan keseluruhan kehidupan masyarakat. Pemahaman
etika agama ini menyebabkan Muhammadiyah terdorong untuk berpartisipasi dalam
urusan-urusan sosial pada masa-masa awal.
Karena itu, tujuan utama Muhammadiyah ialah penanaman
ajaran Islam ini. Melaui usaha semacam ini, pemimpin gerakan percaya bahwa
perubahan soial secara perlahan akan terjadi; perubahan yang akhirnya akan
secara damai melahirkan masyarakat Islam yang sesungguhnya, yang disitu
kebajikan, kesejahteraan dan kebahagiaan akan terwujud. Pandangan keagamaan
pemimpin Muhammadiyah menunjukkan Islam memiliki seluruh kebajikan yang
diperlukan bagi terbentuknya masyarakat semacam itu, dan bahwa setiap aspek
Islam yang dimanifestasikan dalam akidah, akhlak, ibadah dan mu'amalah saling
berkaitan satu sama lain. Mereka juga menyertakan bahwa kehidupan manusia tidak
lain kecuali taat kepada Tuhan atas dasar prinsip tauhid. Mereka juga
mengemukakan kebajikan moral, pentingnya etika, purifikasi jiwa yang
mengendalikan keinginan seseorang dan pencapaian kebajikan dan pencerahan
moral. Setiap muslim, mereka berpendapat, memiliki tanggungjawab sosial untuk
memperbaharui dirinya secara moral, dan mampu beradaptasi dengan kondisi
kontemporer. Jadi, Islam merupakan jalan untuk memahami dunia dan membentuk
hubungan antara Tuhan, masyarakat dan manusia.
D. Pandangan Dunia Muhammadiyah (World View)
Penegasan Muhammadiyah bahwa Islam tidak hanya
mencakup seperangkat kewajiban seperti shalat, puasa, zakat dan haji, tapi juga
bersinggungan dengan semua aspek kehidupan, menyebabkan gerakan ini menolak
pendekatan terpisah-pisah (tidak menyeluruh) terhadap agama, dan menghindari
pembatasan Islam dalam kategori atau wilayah yang sempit. Sebaliknya, para
teoritis Muhammadiyah menyokong pendekatan yang lebih holistic terhadap agama
yang melibatkan Islam dalam kehidupan seseorang. Mereka percaya bahwa Islam memberikan
petunjuknya hanya pada prinsip-prinsip tingkah laku, dan menyerahkan kepada
umat Islam untuk menjelaskan yang detail.
Menurut Mas Mansoer, Islam menjelaskan hikmah yang
eksplisit dari tindakan-tindakan tertentu dan mendorong orang untuk belajar
dari pengalaman sejarah. Islam memberi manusia kebebasan untuk mengambil
keuntungan (manfaat) dari usaha-usaha dunia dan pada saat yang sama menghindari
perangkap-perangkap yang menyertainya. Ini adalah prinsip dasar agama, dan
makna Islam yang sesungguhnya adalah penyerahan diri kepada prinsip-prinsip
ini.
Karenanya, untuk mendapatkan jawaban dari ajaran
Islam bagi problem-problem yang muncul di dunia ini, dakwah menjadi sarana bagi
pemahaman yang besar tentang iman dan pelibatannya dalam kehidupan sehari-hari,
sekaligus sebagai alat untuk mempengaruhi dan mengkoreksi kecenderungan
keagamaan yang sempit dan terlalu berwatak legalistik. Merujuk kepada situasi
ini, Hadjid, seorang pemimpin Muhammadiyah pada dekade awal abad ke-20,
mengkritisi orang-orang Islam yang hanya mendiskusikan soal-soal halal dan
haram. Ia mencemooh pengakuan orang-orang yang percaya bahwa adalah saatnya
untuk berkonsentrasi pada ibadah, dan lebih baik melupakan isu-isu sosial
karena dunia ini sudah sangat tua.
Pemimpin Muhammadiyah sebaliknya percaya bahwa
salah satu kewajiban penting seorang muslim ialah melayani masyarakatnya.
Pemahaman ini menunjukkan bahwa pembaharuan memiliki ruang lingkup yang sangat
luas, mencakup banyak aspek pemikiran dan praktis Islam pada awal abad ke-20 di
Indonesia. Masalahnya ialah bagaimana menghubungkan prinsip-prinsip dasar Islam
dengan aspek-aspek ajaran keagamaan yang ada dalam wilayah urusan dunia. Karena
itu, penting untuk mengkaji pemahaman para pemimpin Muhammadiyah tentang
masalah-masalah dunia, hubungannya dengan masalah agama yang spesifik, dan arti
penting masalah dunia bagi orientasi keagamaan gerakan ini.
“Urusan dunia”, menurut literatur Muhammadiyah,
memiliki posisi yang sama pentingnya vis-á-vis rukun Islam. Namun,
masalah tersebut sangat bervariasi karena bisa berubah menurut ruang, waktu dan
kemaslahatan. Akal juga memainkan peran yang besar dalam urusan-urusan
tersebut, dalam pengertian akal menentukan apakah sesuatu itu berharga,
sia-sia, bermanfaat atau sebaliknya.
Menyangkut ruang lingkupnya, ucapan Nabi Muhammad
berikut ini dikutip: “kamu lebih tahu tentang urusan duniamu”, yang dipahami
oleh ulama Muhammadiyah merujuk ke setiap masalah yang tidak diberikan
petunjuknya oleh Nabi. Dalam pengertian ini setiap tindakan yang dilakukan untuk
memperoleh rahmat dan barakah Allah dibolehkan (halal). Kepercayaan ini
sesuai dengan prinsip yang menyatakan bahwa “segala sesuatu diperbolehkan (halal)
kecuali yang tidak diperbolehkan (haram)”. Berdasarkan prinsip ini,
ulama tersebut menetapkan bahwa orang-orang muslim pada masa mereka berbeda
dari orang Islam masa lampau, dan tidak diwajibkan untuk mengikuti setiap
metode yang digunakan pada masa Nabi, bahkan menyangkut soal agama, karena
penggunaan metode-metode itu sangat relatif dalam karakternya. Penggunaan
bahasa daerah bukannya bahasa Arab dalam khutbah Jum’at misalnya, menunjukkan
sebuah perbedaan dari tradisi yang ada pada masa Muhammad.
Perubahan ini ditentang oleh orang-orang Islam
tradisional pada awal abad ke-20. Maka, kecenderungan umum konsepsi
Muhammadiyah tentang dunia dan urusan-urusannya serta hubungannya dengan dunia
nanti, merupakan ide yang sesuai dengan semangat modernisasi yang mempengaruhi
orang-orang Islam Indonesia pada abad ke-20.
Pemahaman dasar keagamaan gerakan ini tentang dunia
melahirkan pandangan bahwa pengetahuan dan kebahagiaan merupakan elemen-elemen
sosial yang penting. Karena itu, ditekankan bahwa setiap muslim harus menguasai
ilmu-ilmu dunia sebagaimana ia juga harus menguasai ilmu-ilmu agama.
Sesungguhnya, Hadjid menganggap wajib bagi orang
Islam untuk mencari pengetahuan ini, di manapun dan dari siapapun pengetahuan
ini bisa diperoleh. Prinsip ini juga mempengaruhi orang tua muslim untuk
menganjurkan anak-anak mereka belajar ilmu pengetahuan Barat, sejauh mereka
tidak melupakan kewajiban keagamaan mereka.
Dalam kenyataannya, Hadjid menganggap pengetahuan
Barat identik dengan kemajuan, dan Islam adalah agama yang berkaitan dengan
kemajuan. Proses yang mendorong orang Islam menguasai pengetahuan ini dipandang
bisa diperoleh melalui pendidikan formal maupun kontak langsung dan diskusi
dengan orang-orang Barat.
Namun demikian, Ahmad Dahlan menyatakan bahwa
pengetahuan ini tidak hanya dipahami secara teoritis tetapi juga harus
diimplementasikan untuk kepentingan masyarakat. Apresiasi terhadap pengetahuan
secular ini bertentangan dengan kecenderungan kaum muslim pada umumnya yang
membatasi pengetahuan Islam hanya pada masalah agama saja, dan yang menganggap
setiap bentuk pengetahuan dunia yang lain sebagai pengetahuan yang tidak
penting. Lebih lanjut, penghargaan ini mengilhami Muhammadiyah untuk melakukan
pembaharuan sistem pendidikannya dalam segi ideal dan aspek praktisnya, suatu
usaha yang dipandang penting bagi kesejahteraan dan pencapaian kebahagiaan.
Bagi para pemimpin Muhammadiyah, kebahagiaan
merupakan aspek terpenting kedua dari kehidupan. Dalam beberapa tulisannya, Mas
Mansoer berulangkali menyatakan bahwa orang-orang muslim berhak untuk mencapai
kebahagiaan material dan menghindari kemiskinan. Dengan mengutip ayat Al-Qur'an
7: 32, ia menyatakan bahwa Tuhan membolehkan kaum mu’min untuk menikmati
hal-hal yang baik di dunia ini, dan karena itu mereka tidak boleh menolaknya.
Dalam surat yang lain, 2: 177, juga dinyatakan
bahwa mu’min yang benar ialah yang berusaha untuk mendapatkan kekayaan dan
kemudian menggunakan kekayaannya untuk perbuatan yang baik dan menolong
orang-orang miskin. Mas Mansoer menegaskan bahwa ulama harus mengajarkan
orang-orang Islam dan membimbing mereka menurut apa yang dijelaskan oleh Al-Qur'an
dan as-Sunnah untuk mencapai kehidupan yang lebih baik di dunia ini. Kemiskinan
orang-orang muslim disebabkan oleh kenyataan bahwa banyak ulama yang
menganjurkan kaum muslim untuk tidak peduli terhadap urusan dunia. Mas Mansoer
juga percaya bahwa setiap usaha sosial dan keagamaan membutuhkan uang (dana),
dan bahwa jika orang Islam lemah secara ekonomi, maka hal itu akan menyulitkan
mereka merealisasikan usaha-usahanya. Jadi, ia sangat mendorong kaum muslim
untuk mengubah gaya hidup dan sistem pendidikan spiritual, untuk mencapai
standar hidup yang lebih baik bagi mereka. Peningkatan status sosial ekonomi
seseorang tidak hanya harus dicari, ia mengingatkan, tetapi harus diberikan
prioritas yang tinggi.
Jadi, memulai dari pendirian yang berlawanan dengan
apa yang diyakini oleh umumnya kaum muslim, para pemimpin Muhammadiyah bahkan
mensucikan kerja-kerja profan dan mengagungkan tugas-tugas yang bersifat
duniawi. Pendekatan ini menolak untuk mendewakan hanya kehidupan non-duniawi,
yang mengkonsentrasikan pada penyesalan dan meditasi, yang tidak mengenal sama
sekali kerja duniawi dalam pengertian yang biasa, dan yang cenderung meremehkan
semua urusan dunia.
Tidak ada keraguan, sebagaimana dinyatakan oleh Mas
Mansoer bahwa perhatian utama misi Islam sebagai agama ialah kesejahteraan
individu di akhirat. Namun tidak bisa dipungkiri juga bahwa kehidupan di dunia
ini bukan satu-satunya jalan menuju kebahagiaan akhirat nanti, dan bahwa ia
juga harus diberikan perhatian.
Sesungguhnya dunia ini merupakan satu-satunya
tempat di mana masa depan nasib manusia ditentukan. Secara logis kemudian,
orang menyangka bahwa setelah meninggalkan dunia ini, karir manusia habis dan
tidak ada alat yang bisa dipakai untuk menebus dosa-dosanya. Namun, ini tidak
mesti mengisyaratkan bahwa manusia harus membatasi kegiatannya di dunia ini
untuk kegiatan spiritual dalam rangka memperoleh rahmat akhirat yang akan
datang. Sebaliknya, Mas Mansoer mengajarkan bahwa doktrin Islam mengakui urusan
dunia ini, dan memberikan pemeluknya pedoman yang cukup tentang bagaimana
mencapai kebahagiaan di dunia dan akhirat. Namun sayangnya pada saat itu
kebayakan muslim meremehkan aspek-aspek ini dan membatasi diri mereka kepada
pendekatan yang lebih asketik; akibatnya mereka menjadi miskin material, lemah
dan terbelakang.
Pandangan dasar keagamaan ini merupakan elemen
penting dalam formasi ideologi gerakan Muhammadiyah. Ideologi ini
merasionalisasi dan membela kepentingan dan komitmen keagamaan, moral dan
sosial gerakan ini. Dengan demikian, hal ini memberikan justifikasi logis dan
filosofis bagi tingkah laku, sikap, tujuan dan cara hidup pengikutnya secara
umum. Beberapa elemen ideologi ini diterima sebagai kebenaran atau dogma, yang
secara tak terhindarkan menciptakan konflik dengan kelompok, orang atau gerakan
yang lain. Salah satu kasus ialah retaknya hubungan antara Muhammadiyah dan
Sarekat Islam pada pertengahan dekade 1920-an, yang disebabkan oleh perbedaan
persepsi ideologis kedua gerakan ini.
Namun, elemen-elemen tertentu dari ideologi
Muhammadiyah diterima sebagai formulasi-formulasi ini secara konstan
dimodifikasi sesuai dengan perubahan sosial dan budaya kontemporer.
Adaptabilitas ini menjelaskan mengapa Muhammadiyah tampak lebih religius pada
saat tertentu atau lebih berorientasi sosial pada saat yang lain. Cabang-cabang
tertentu lebih condong pada kegiatan-kegiatan tertentu yang tidak dilakukan
oleh cabang yang lain. Kasus seperti cabang-cabang di Minagkabau sejak periode
awal menunjukkan tendensi politik yang tidak dimiliki oleh atau sangat sedikit
di daerah lain. Ini memungkinkan Muhammadiyah menjadi gerakan yang dinamis,
akomodatif dan fleksibel dalam melaksanakan usaha-usaha sosialnya. Karakter
dinamis ini membuat Muhammadiyah muncul sebagai gerakan modernis sejak awal.
0 Response to "PEMIKIRAN MUHAMMADIYAH"
Post a Comment