METODE MUHADITSIN DALAM MEMAHAMI HADITS NABI
A.
Mutaqdimin
Untuk menjaga
otentitas/keaslian dan validitas suatu bangunan hadits, ulama hadits periode
mutaqodimin ini tidak semata-mata hanya mengandal: akurasi daya ingat yang kuat
dan dokumentasi catatan yang teruji, integritas individu penyampai hadits dan
ketersambungan sanad, tetapi juga memandang signifikansi tersambungnya bangunan
riwayat hadits dari syad dan illat. Hadits dengan kualitas seperti inilah yang
bisa dijadikan sandaran argumentasi dalam beragama.
Secara umum, mekanisme dalam memahami hadits Nabi
Muhammad Saw. melalui tahapan sebagai berikut:
- Memperhatikan kualitas hadits
Ulama hadits
mutaqadimin menganggap penting, di mana kajian dalam memahami matan suatu
hadits dilakukan setelah sanad matan hadits telah diketahui kualitasnya. Kajian
dalam memahami matan dilakukan setelah sanad hadits itu memang berkualitas
shahih, hasan atau asal dha’ifnya tidak terlalu, jika sanadnya sudah diketahui
sudah terlalu, maka tidak perlu dikaji matannya, sebab tidak akan banyak
memberi manfaat.
- Mencermati susunan redaksional matan
Tidak jarang
diketemukan perbedaan redaksi matan hadits yang memiliki kesamaan arti. Hal ini
terjadi akibat toleransi ar-riwayat bi al-makna, rawi rupa, atau mis-konsepsi
terhadap riwayat yang diterima dari gurunya. Menurut muhaditsin, perbedaan
redaksional yang tidak mengakibatkan perbedaan arti – asalkan sanadnya
sama-sama shahih – dapat ditoleransi. Dalam kasus seperti ini, mekanisme kajian
yang dilakukan dengan melakukan komparasi sekian matan yang memiliki kesamaan
substansi. Sehingga dapat diketahui, mana di antara sekian matan hadits itu
yang pantas dinisbahkan kepada Nabi Muhammad Saw. Di samping itu, mekanisme
komparasi semacam ini dapat mengungkapkan kejanggalan matan, di antaranya 1)
al-Idraj, 2) al-Qalb, 3) at-Tashif wa Tahrif, 4) az-Ziyadah, dan sebagainya.
- Meneliti dan memahami substansi matan
Dalam meneliti
dan memahami kandungan matan hadits, realitasnya diketemukan keragaman acuan
pendekatan, ada yang disepakati dan ada yang menyisakan polemik di antara ulama
hadits. Acuan yang disepakati sebagai pendekatan dalam memahami maksud matan
hadits ada dua, yaitu Al-Qur'an dan as-Sunnah. Sementara acuan dalam memahami
substansi matan hadits yang sampai sekarang masih menjadi polemik di antara
ulama antara lain: a) logika (akal sehat), b) fakta historis, c) pokok-pokok
ajaran Islam, d) ijma’ (konsensus ulama), e) qiyas (analogi), f) perilaku
sahabat, dan lain-lain.
B.
Hermeneutika Sebuah Paradigma Baru dalam Memahami Hadits
Sebagai sebuah teks, hadits Nabi menghadapi problem
yang sama sebagaimana yang dihadapi oleh teks-teks lainnya, seperti Al-Qur'an
dan kitab-kitab suci yang lain, teks pasti tidak bisa mempresentasikan
keseluruhan gagasan dan situasional sang empunya. Karena dalam alam yang
berbeda yang satu pada dataran alam ghaib dan satu sisi berada dalam alam
empiris. Demikian juga teladan Nabi sebagai wacana yang dinamis dan kompleks
dituliskan, maka penyempitan dan pengeringan makna dan nuansa tidak bisa
dihindari. Berdasar struktur berfikir yang seperti ini, maka perumusan
metodologi pemahaman dan penafsiran hadits menjadi sangat urgen dalam rangka
pencarian kembali teks-teks hadits sehingga menjadi wacana yang hidup dan mampu
berdialog dengan zaman yang selalu berubah. Di sinilah hadits bersinggungan
dengan problem Hermeneutika.
Secara terminologis Hermeneutika diartikan sebagai
penafsiran ungkapan-ungkapan dan anggapan dari orang lain, khususnya yang
berbeda jauh dari rentang sejarah. Dewasa ini Hermeneutika sering diartikan
penafsiran terhadap teks yang berasal dari lingkungan sosial dan historis yang
berbeda dengan lingkungan yang ketika sebuah teks itu diturunkan. Dengan
demikian Hermeneutika mengarahkan agar teks yang sedang dipelajari mempunyai
arti sekarang dan di sini, sehingga sebuah teks tersebut mengarah secara
terbuka menuju sekarang dan di sini.
C.
Tokoh-tokoh Pemikir Hermeneutika Hadits
1. Prof. Dr. Yusuf al-Qardhawiy (Ulama Mesir mantan
Rektor Al-Azhar Mesir, ahli Fiqh Kontemporer)
Dalam rangka memahami makna hadits dan menemukan
signifikasi kontekstualnya al-Qardhawiy menganjurkan beberapa prinsip dalam
penafsiran hadits:
a.
Memahami
sunnah berdasarkan petunjuk Al-Qur'an.
b.
Menghimpun
hadits yang topiknya sama.
c.
Memahami
hadits berdasarkan latar belakang kondisi dan tujuan (asbaabul wurud).
d.
Pendekatan
linguistik. Seorang penafsir hadits harus menggunakan pendekatan historis
terhadap makna lafadz-lafadz hadits yang sesungguhnya pada saat hadits yang
bersangkutan muncul dan penggeseran-penggeseran makna yang menjadi pada
bentangan sejarah berikutnya.
2. Prof. Dr. Syuhudi Ismail (Guru besar Hadits UIN,
Ulama’ Indonesia )
Dalam memahami hadits itu harus dipagami ketika
Nabi berbuat, berkata dan menetapkan itu beliau sebagai apa: sebagai Nabi dan
Rasul, Kepala Negara, Kepala Masyarakat, sebagai Hakim, sebagai suami, sebagai
ayah dan sebagai kakek.
3. Prof. Dr. Muhammad Iqbal (Ulama’ dari Pakistan ,
Sastrawan dan pembaharu pemikiran dalam Islam)
Menurut Iqbal
ketika seseorang hendak mengambil pelajaran dari hadits adalah bagaimana
membedakan hadits-hadits yang membawa konsekuensi
hukum dan yang tidak membawa konsekuensi hukum. Kemudian harus diteliti
pula sejauhmana hadits-hadits hukum tersebut mengandung kebiasaan bangsa Arab
pra Islam yang membiarkan beberapa kasus tetap berjalan dan beberapa kasus yang
lain yang telah dimodifikasi oleh Nabi.
4. Prof. Dr. Fazlur Rahman (Ulama’ dari Pakistan
kemudian hijrah ke Amerika).
Bagi penafsir hadits harus dipahami bahwa hadits
itu adalah:
a.
Sunnah Nabi
lebih tepat jika dipandang sebagai konsep pengayoman daripada bahwa hadits
mempunyai sebuah kandungan khusus yang bersifat spesifik secara mutlak.
b.
Bahwa sunnah
adalah merupakan petunjuk arah daripada serangkaian peraturan-peraturan yang
telah ditetapkan secara pasti.
Oleh karena itu penafsiran situasional melalui
studi historis dalam rangka mencairkan hadits-hadits ke dalam bentuk sunnah
yang hidup ini kami membuat kita dapat menyimpulkan norma-norma darinya.
D.
Tipologi Ulama’ dalam Memahami Hadits
Secara garis besar tipologi ulama’ dalam memahami
hadits Nabi dapat diklasifikasi ada dua tipologi:
1. tekstualitas, yaitu tipologi pemahaman yang
mempercayai hadits sebagai sumber kedua ajaran Islam tanpa memperdulikan proses
panjang pengumpulan hadits dan proses pembentukan ajaran orotodoks/normatif.
Tipologi yang demikian ini oleh ahli sosiologi dikategorikan sebagai tipologi pemikiran
yang ahistoris (tidak mengenal sejarah tumbuhnya hadits dari sunnah yang timbul
pada saat itu).
- Kontekstualis, yaitu golongan yang mempercayai
hadits sebagai sumber kedua ajaran Islam melalui kritik-historis
terhadapnya dengan melihat dan mempertimbangkan asal-usul (asbaabul
wurud) hadits tersebut. (Amin Abdullahl 1996, 315).
E.
Contoh Hadits tentang Isbaalur Izar
‘Ubaid bin Kholid ra. berkata: “Tatkala aku
sedang berjalan di kota
Madinah tiba-tiba ada seorang di belakangku sambil berkata: “Tinggikan
sarungmu! Sesungguhnya hal itu lebih mendekatkan kepada ketakwaan”, ternyata
dia adalah Rasulullah, aku pun bertanya kepadanya: “Wahai Rasulullah ini Burdah
Malhaa (pakaian yang mahal), Rasulullah menjawab: “Tidakkah pada diriku
terdapat teladan?” Mkaku melihat sarungnya hingga setengah betis”. (HR.
Tirmidzi dalam Syamail 97, Ahmad 5/364, Dishahihkan oleh Al-Albani dalam Mukhtashar
Syamail Muhammadiyah, hal. 69).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah pernah ditanya tentang
seseorang yang memanjangkan celananya hingga melebihi mata kaki, beliau
menjawab: “Panjangnya qomis, celadan dan seluruh pakaian hendaklah melebihi
kedua mata kaki, sebagaimana telah tetap dari hadits-hadits Nabi Saw. (Majmu’
Fatawa 22/144).
Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata: “Walhasil ada dua
keadaan bagi laki-laki, dianjurkan yaitu menurunkan sarung hingga setengah
betis, boleh yaitu hingga di atas kedua mata kaki. Demikian pula bagi wanita
ada dua keadaan, dianjurkan yaitu menurunkan di bawah mata kaki hingga
sejengkal, dan dibolehkan hingga sehasta”. (Fathul Bari 10/320).
- Dalil-dalil Haramnya Isbal
Pertama:
ذَرٍّ أَبِى عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَالَ ثَلَاثَةٌ لاَ يُكَلِّمُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلاَ
يَنْظُرُ إِلَيْهِمْ وَلاَ يُزَكِّيهِمْ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ قَالَ
فَقَرَأَهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثَلاَثَ مِرَارًا
قَالَ أَبُو ذَرٍّ خَابُوا وَخَسِرُوا مَنْ هُمْ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ
الْمُسْبِلُ وَالْمَنَّانُ وَالْمُنَفِّقُ سِلْعَتَهُ بِالْحَلِفِ الْكَاذِبِ.
Dari Abu Dzar bahwasannya Rasulullah bersabda: “Ada tiga golongan yang
tidak akan diajak bicara oleh Allah pada hari kiamat dan bagi mereka adzab yang
peduh; Rasulullah menyebutkan tiga golongan tersebut berulang-ulang tiga kali,
Abu Dzar berkata: “Merugilah mereka, siapakah mereka wahai Rasulullah?
Rasulullah menjawab: “Orang yang memanjangkan pakaiannya, yang suka
mengungkit-ungkit pemberian dan orang yang melariskan dagangannya dengan sumpah
palsu”. (HR. Muslim 106, Abu Dawud
4087, Dharimy 2608, Lihat Al-Irwa’: 900).
Kedua:
عَنِ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ جَرَّ ثَوْبَهُ الْخُيَلَاءِ لَمْ
يَنْظُرِ اللَّهُ إِلَيْهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ.
Dari Abdullah bin Umar ra. bahwasannya Rasulullah Saw. bersabda:
“Barangsiapa yang melabuhkan pakaiannya karena sombong maka Allah tidak akan
melihatnya pada hari kiamat” (HR.
Bukhari 5783, Muslim 2085).
Syaikh Salim bin I’ed Al-Hilali berkata: “Isbal
karena sombong adalah dosa besar, oleh karena itu pelakunya berhak tidak
dilihat oleh Allah pada hari kiamat, tidak disucikan-Nya, dan baginya adzab
yang pedih”. (Manahi Syari'ah 3/206).
Ketiga:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِيِّ قَالَ: مَا أَسْفَلَ
مِنَ الْكَعْبَيْنِ مِنَ الْإِزَارِ فَفِي النَّارِ.
Dari Abu Hurairah bahwasannya Nabi bersabda: “Apa saja yang di bawah
kedua mata kaki di dalam neraka”. (HR.
Bukhari 5797, Ibnu Majah 3573, Ahmad 2/96).
Keempat:
الْمُغِيرَةِ بْنِ شُعْبَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا سُفْيَانَ بْنَ سَهْلٍ لاَ
تُسْبِلْ فَإِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُسْبِلِينَ .
Dari Mughiroh bin Su’bah ra., adalah Rasulullah Saw. bersabda: “Wahai
Sufyan bin Sahl! Janganlah kamu isbal, sesungguhnya Allah tidak menyenangi
orang-orang yang isbal” (HR. Ibnu
majah 3574, Ahmad 4/246, Thobroni dalam Al-Kabir 7909, dishahihkan oleh
Al-Albani dalam As-Shalihah 2862).
Kelima:
وَإِيَّاكَ وَإِسْبَالَ الْإِزَارِ فَإِنَّهَا مِنَ
الْمَخِيلَةِ وَ تَبَرَكَ وَتَعَلَى لاَ يُحِبُّ الْمَخِيلَةَ
“Waspadalah kalian dari isbal pakaian, karena hal itu termasuk
kesombongan dan Allah tidak menyukai kesombongan”. (HR. Abu Dawud 4084, Ahmad 4/65, dishahihkan oleh
Al-Albany dalam As-Shahihah 770).
Keenam:
عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ مَرَرْتُ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَفِي إِزَارِي اسْتِرْخَاءٌ فَقَالَ يَا
عَبْدَ اللَّهِ ارْفَعْ إِزَارَكَ فَرَفَعْتُهُ ثُمَّ قَالَ زِدْ فَزِدْتُ فَمَا
زِلْتُ أَتَحَرَّاهَا بَعْدُ فَقَالَ بَعْضُ الْقَوْمِ إِلَى أَيْنَ فَقَالَ
أَنْصَافِ السَّاقَيْنِ
.
Dari Ibnu Umar berkata: “Saya lewat di hadapan Rasulullah sedangkan
sarungku terjurai, kemudian Rasulullah Saw. menegurku seraya berkata: “Wahai
Abdullah tinggikan sarungmu!” Aku pun meninggikannya, belia bersabda lagi:
“Tinggikan lagi!” Aku pun meninggikannya lagi, maka semenjak itu aku senantiasa
menjaga sarungku pada batas itu. Ada
beberapa orang bertanya: “Seberapa tingginya?” “Sampai setengah betis”. (HR. Muslim 2086, Ahmad 2/33).
- Dalil Bolehnya Isbaalul Izar, Asal Tidak
Sombong
عَن
ابن عمر عَن النبى
قَالَ: مَنْ جَرَّ ثَوْبَهُ خُيَلَاءَ لَمْ يَنْظُرِ اللَّهُ إِلَيْهِ يَوْمَ
الْقِيَامَةِ قَالَ أَبُو بَكْرٍ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ أَحَدَ شِقَّيْ
إِزَارِي يَسْتَرْخِي إِلَّا أَنْ أَتَعَاهَدَ ذَلِكَ مِنْهُ فَقَالَ: لَسْتَ
مِمَّنْ يَصْنَعُهُ خُيَلَاءَ
.
Nabi bersabda: Barang siapa yang menyeret pakaiannya dengan perasaan
sombong, maka Allah tidak akan per nah melihat dia di hari kiamat. Maka Abu
Bakar bertanya: “Ya Rasulullah, sesungguhnya pakaian saya sering kali melorot
ke bawah kecuali dijaganya. Maka Rasulullah menjawab: Engkau bukan termasuk
orang yang sombong (HR. Bukhari
dan Ibnu Umar). Bukhari Juz I.
0 Response to "METODE MUHADITSIN DALAM MEMAHAMI HADITS NABI"
Post a Comment