Recent Posts

METODE MUHADITSIN DALAM MEMAHAMI HADITS NABI


Para ulama ahli hadits dalam memahami hadits Nabi ini dibagi dalam dua periode, yaitu:

A.    Mutaqdimin

Untuk menjaga otentitas/keaslian dan validitas suatu bangunan hadits, ulama hadits periode mutaqodimin ini tidak semata-mata hanya mengandal: akurasi daya ingat yang kuat dan dokumentasi catatan yang teruji, integritas individu penyampai hadits dan ketersambungan sanad, tetapi juga memandang signifikansi tersambungnya bangunan riwayat hadits dari syad dan illat. Hadits dengan kualitas seperti inilah yang bisa dijadikan sandaran argumentasi dalam beragama.
Secara umum, mekanisme dalam memahami hadits Nabi Muhammad Saw. melalui tahapan sebagai berikut:
  1. Memperhatikan kualitas hadits
Ulama hadits mutaqadimin menganggap penting, di mana kajian dalam memahami matan suatu hadits dilakukan setelah sanad matan hadits telah diketahui kualitasnya. Kajian dalam memahami matan dilakukan setelah sanad hadits itu memang berkualitas shahih, hasan atau asal dha’ifnya tidak terlalu, jika sanadnya sudah diketahui sudah terlalu, maka tidak perlu dikaji matannya, sebab tidak akan banyak memberi manfaat.
  1. Mencermati susunan redaksional matan
Tidak jarang diketemukan perbedaan redaksi matan hadits yang memiliki kesamaan arti. Hal ini terjadi akibat toleransi ar-riwayat bi al-makna, rawi rupa, atau mis-konsepsi terhadap riwayat yang diterima dari gurunya. Menurut muhaditsin, perbedaan redaksional yang tidak mengakibatkan perbedaan arti – asalkan sanadnya sama-sama shahih – dapat ditoleransi. Dalam kasus seperti ini, mekanisme kajian yang dilakukan dengan melakukan komparasi sekian matan yang memiliki kesamaan substansi. Sehingga dapat diketahui, mana di antara sekian matan hadits itu yang pantas dinisbahkan kepada Nabi Muhammad Saw. Di samping itu, mekanisme komparasi semacam ini dapat mengungkapkan kejanggalan matan, di antaranya 1) al-Idraj, 2) al-Qalb, 3) at-Tashif wa Tahrif, 4) az-Ziyadah, dan sebagainya.
  1. Meneliti dan memahami substansi matan
Dalam meneliti dan memahami kandungan matan hadits, realitasnya diketemukan keragaman acuan pendekatan, ada yang disepakati dan ada yang menyisakan polemik di antara ulama hadits. Acuan yang disepakati sebagai pendekatan dalam memahami maksud matan hadits ada dua, yaitu Al-Qur'an dan as-Sunnah. Sementara acuan dalam memahami substansi matan hadits yang sampai sekarang masih menjadi polemik di antara ulama antara lain: a) logika (akal sehat), b) fakta historis, c) pokok-pokok ajaran Islam, d) ijma’ (konsensus ulama), e) qiyas (analogi), f) perilaku sahabat, dan lain-lain.

B.     Hermeneutika Sebuah Paradigma Baru dalam Memahami Hadits  

Sebagai sebuah teks, hadits Nabi menghadapi problem yang sama sebagaimana yang dihadapi oleh teks-teks lainnya, seperti Al-Qur'an dan kitab-kitab suci yang lain, teks pasti tidak bisa mempresentasikan keseluruhan gagasan dan situasional sang empunya. Karena dalam alam yang berbeda yang satu pada dataran alam ghaib dan satu sisi berada dalam alam empiris. Demikian juga teladan Nabi sebagai wacana yang dinamis dan kompleks dituliskan, maka penyempitan dan pengeringan makna dan nuansa tidak bisa dihindari. Berdasar struktur berfikir yang seperti ini, maka perumusan metodologi pemahaman dan penafsiran hadits menjadi sangat urgen dalam rangka pencarian kembali teks-teks hadits sehingga menjadi wacana yang hidup dan mampu berdialog dengan zaman yang selalu berubah. Di sinilah hadits bersinggungan dengan problem Hermeneutika.
Secara terminologis Hermeneutika diartikan sebagai penafsiran ungkapan-ungkapan dan anggapan dari orang lain, khususnya yang berbeda jauh dari rentang sejarah. Dewasa ini Hermeneutika sering diartikan penafsiran terhadap teks yang berasal dari lingkungan sosial dan historis yang berbeda dengan lingkungan yang ketika sebuah teks itu diturunkan. Dengan demikian Hermeneutika mengarahkan agar teks yang sedang dipelajari mempunyai arti sekarang dan di sini, sehingga sebuah teks tersebut mengarah secara terbuka menuju sekarang dan di sini.

C.    Tokoh-tokoh Pemikir Hermeneutika Hadits

1.      Prof. Dr. Yusuf al-Qardhawiy (Ulama Mesir mantan Rektor Al-Azhar Mesir, ahli Fiqh Kontemporer)
Dalam rangka memahami makna hadits dan menemukan signifikasi kontekstualnya al-Qardhawiy menganjurkan beberapa prinsip dalam penafsiran hadits:
a.       Memahami sunnah berdasarkan petunjuk Al-Qur'an.
b.      Menghimpun hadits yang topiknya sama.
c.       Memahami hadits berdasarkan latar belakang kondisi dan tujuan (asbaabul wurud).
d.      Pendekatan linguistik. Seorang penafsir hadits harus menggunakan pendekatan historis terhadap makna lafadz-lafadz hadits yang sesungguhnya pada saat hadits yang bersangkutan muncul dan penggeseran-penggeseran makna yang menjadi pada bentangan sejarah berikutnya.


2.      Prof. Dr. Syuhudi Ismail (Guru besar Hadits UIN, Ulama’ Indonesia)
Dalam memahami hadits itu harus dipagami ketika Nabi berbuat, berkata dan menetapkan itu beliau sebagai apa: sebagai Nabi dan Rasul, Kepala Negara, Kepala Masyarakat, sebagai Hakim, sebagai suami, sebagai ayah dan sebagai kakek.
3.      Prof. Dr. Muhammad Iqbal (Ulama’ dari Pakistan, Sastrawan dan pembaharu pemikiran dalam Islam)
Menurut Iqbal ketika seseorang hendak mengambil pelajaran dari hadits adalah bagaimana membedakan hadits-hadits yang membawa konsekuensi hukum dan yang tidak membawa konsekuensi hukum. Kemudian harus diteliti pula sejauhmana hadits-hadits hukum tersebut mengandung kebiasaan bangsa Arab pra Islam yang membiarkan beberapa kasus tetap berjalan dan beberapa kasus yang lain yang telah dimodifikasi oleh Nabi.
4.      Prof. Dr. Fazlur Rahman (Ulama’ dari Pakistan kemudian hijrah ke Amerika).
Bagi penafsir hadits harus dipahami bahwa hadits itu adalah:
a.       Sunnah Nabi lebih tepat jika dipandang sebagai konsep pengayoman daripada bahwa hadits mempunyai sebuah kandungan khusus yang bersifat spesifik secara mutlak.
b.      Bahwa sunnah adalah merupakan petunjuk arah daripada serangkaian peraturan-peraturan yang telah ditetapkan secara pasti.
Oleh karena itu penafsiran situasional melalui studi historis dalam rangka mencairkan hadits-hadits ke dalam bentuk sunnah yang hidup ini kami membuat kita dapat menyimpulkan norma-norma darinya.

D.    Tipologi Ulama’ dalam Memahami Hadits

Secara garis besar tipologi ulama’ dalam memahami hadits Nabi dapat diklasifikasi ada dua tipologi:
1.      tekstualitas, yaitu tipologi pemahaman yang mempercayai hadits sebagai sumber kedua ajaran Islam tanpa memperdulikan proses panjang pengumpulan hadits dan proses pembentukan ajaran orotodoks/normatif. Tipologi yang demikian ini oleh ahli sosiologi dikategorikan sebagai tipologi pemikiran yang ahistoris (tidak mengenal sejarah tumbuhnya hadits dari sunnah yang timbul pada saat itu).
  1. Kontekstualis, yaitu golongan yang mempercayai hadits sebagai sumber kedua ajaran Islam melalui kritik-historis terhadapnya dengan melihat dan mempertimbangkan asal-usul (asbaabul wurud) hadits tersebut. (Amin Abdullahl 1996, 315).

E.     Contoh Hadits tentang Isbaalur Izar

‘Ubaid bin Kholid ra. berkata: “Tatkala aku sedang berjalan di kota Madinah tiba-tiba ada seorang di belakangku sambil berkata: “Tinggikan sarungmu! Sesungguhnya hal itu lebih mendekatkan kepada ketakwaan”, ternyata dia adalah Rasulullah, aku pun bertanya kepadanya: “Wahai Rasulullah ini Burdah Malhaa (pakaian yang mahal), Rasulullah menjawab: “Tidakkah pada diriku terdapat teladan?” Mkaku melihat sarungnya hingga setengah betis”. (HR. Tirmidzi dalam Syamail 97, Ahmad 5/364, Dishahihkan oleh Al-Albani dalam Mukhtashar Syamail Muhammadiyah, hal. 69).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah pernah ditanya tentang seseorang yang memanjangkan celananya hingga melebihi mata kaki, beliau menjawab: “Panjangnya qomis, celadan dan seluruh pakaian hendaklah melebihi kedua mata kaki, sebagaimana telah tetap dari hadits-hadits Nabi Saw. (Majmu’ Fatawa 22/144).
Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata: “Walhasil ada dua keadaan bagi laki-laki, dianjurkan yaitu menurunkan sarung hingga setengah betis, boleh yaitu hingga di atas kedua mata kaki. Demikian pula bagi wanita ada dua keadaan, dianjurkan yaitu menurunkan di bawah mata kaki hingga sejengkal, dan dibolehkan hingga sehasta”. (Fathul Bari 10/320).
  1. Dalil-dalil Haramnya Isbal
Pertama:
ذَرٍّ أَبِى عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ ثَلَاثَةٌ لاَ يُكَلِّمُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلاَ يَنْظُرُ إِلَيْهِمْ وَلاَ يُزَكِّيهِمْ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ قَالَ فَقَرَأَهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثَلاَثَ مِرَارًا قَالَ أَبُو ذَرٍّ خَابُوا وَخَسِرُوا مَنْ هُمْ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ الْمُسْبِلُ وَالْمَنَّانُ وَالْمُنَفِّقُ سِلْعَتَهُ بِالْحَلِفِ الْكَاذِبِ.
Dari Abu Dzar bahwasannya Rasulullah bersabda: “Ada tiga golongan yang tidak akan diajak bicara oleh Allah pada hari kiamat dan bagi mereka adzab yang peduh; Rasulullah menyebutkan tiga golongan tersebut berulang-ulang tiga kali, Abu Dzar berkata: “Merugilah mereka, siapakah mereka wahai Rasulullah? Rasulullah menjawab: “Orang yang memanjangkan pakaiannya, yang suka mengungkit-ungkit pemberian dan orang yang melariskan dagangannya dengan sumpah palsu”. (HR. Muslim 106, Abu Dawud 4087, Dharimy 2608, Lihat Al-Irwa’: 900).

Kedua:
عَنِ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ جَرَّ ثَوْبَهُ الْخُيَلَاءِ لَمْ يَنْظُرِ اللَّهُ إِلَيْهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ.
Dari Abdullah bin Umar ra. bahwasannya Rasulullah Saw. bersabda: “Barangsiapa yang melabuhkan pakaiannya karena sombong maka Allah tidak akan melihatnya pada hari kiamat” (HR. Bukhari 5783, Muslim 2085).
Syaikh Salim bin I’ed Al-Hilali berkata: “Isbal karena sombong adalah dosa besar, oleh karena itu pelakunya berhak tidak dilihat oleh Allah pada hari kiamat, tidak disucikan-Nya, dan baginya adzab yang pedih”. (Manahi Syari'ah 3/206).

Ketiga:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِيِّ قَالَ: مَا أَسْفَلَ مِنَ الْكَعْبَيْنِ مِنَ الْإِزَارِ فَفِي النَّارِ.
Dari Abu Hurairah bahwasannya Nabi bersabda: “Apa saja yang di bawah kedua mata kaki di dalam neraka”. (HR. Bukhari 5797, Ibnu Majah 3573, Ahmad 2/96).

Keempat:
الْمُغِيرَةِ بْنِ شُعْبَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا سُفْيَانَ بْنَ سَهْلٍ لاَ تُسْبِلْ فَإِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُسْبِلِينَ .
Dari Mughiroh bin Su’bah ra., adalah Rasulullah Saw. bersabda: “Wahai Sufyan bin Sahl! Janganlah kamu isbal, sesungguhnya Allah tidak menyenangi orang-orang yang isbal” (HR. Ibnu majah 3574, Ahmad 4/246, Thobroni dalam Al-Kabir 7909, dishahihkan oleh Al-Albani dalam As-Shalihah 2862).

Kelima:
وَإِيَّاكَ وَإِسْبَالَ الْإِزَارِ فَإِنَّهَا مِنَ الْمَخِيلَةِ وَ تَبَرَكَ وَتَعَلَى لاَ يُحِبُّ الْمَخِيلَةَ
“Waspadalah kalian dari isbal pakaian, karena hal itu termasuk kesombongan dan Allah tidak menyukai kesombongan”. (HR. Abu Dawud 4084, Ahmad 4/65, dishahihkan oleh Al-Albany dalam As-Shahihah 770).



Keenam:
عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ مَرَرْتُ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَفِي إِزَارِي اسْتِرْخَاءٌ فَقَالَ يَا عَبْدَ اللَّهِ ارْفَعْ إِزَارَكَ فَرَفَعْتُهُ ثُمَّ قَالَ زِدْ فَزِدْتُ فَمَا زِلْتُ أَتَحَرَّاهَا بَعْدُ فَقَالَ بَعْضُ الْقَوْمِ إِلَى أَيْنَ فَقَالَ أَنْصَافِ السَّاقَيْنِ .
Dari Ibnu Umar berkata: “Saya lewat di hadapan Rasulullah sedangkan sarungku terjurai, kemudian Rasulullah Saw. menegurku seraya berkata: “Wahai Abdullah tinggikan sarungmu!” Aku pun meninggikannya, belia bersabda lagi: “Tinggikan lagi!” Aku pun meninggikannya lagi, maka semenjak itu aku senantiasa menjaga sarungku pada batas itu. Ada beberapa orang bertanya: “Seberapa tingginya?” “Sampai setengah betis”. (HR. Muslim 2086, Ahmad 2/33).
  1. Dalil Bolehnya Isbaalul Izar, Asal Tidak Sombong
عَن ابن عمر عَن النبى قَالَ: مَنْ جَرَّ ثَوْبَهُ خُيَلَاءَ لَمْ يَنْظُرِ اللَّهُ إِلَيْهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ قَالَ أَبُو بَكْرٍ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ أَحَدَ شِقَّيْ إِزَارِي يَسْتَرْخِي إِلَّا أَنْ أَتَعَاهَدَ ذَلِكَ مِنْهُ فَقَالَ: لَسْتَ مِمَّنْ يَصْنَعُهُ خُيَلَاءَ .

Nabi bersabda: Barang siapa yang menyeret pakaiannya dengan perasaan sombong, maka Allah tidak akan per nah melihat dia di hari kiamat. Maka Abu Bakar bertanya: “Ya Rasulullah, sesungguhnya pakaian saya sering kali melorot ke bawah kecuali dijaganya. Maka Rasulullah menjawab: Engkau bukan termasuk orang yang sombong (HR. Bukhari dan Ibnu Umar). Bukhari Juz I.

0 Response to "METODE MUHADITSIN DALAM MEMAHAMI HADITS NABI"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel