Kisah terkoyak negeri Palestina
Palestina merupakan wilayah yang agaknya tak pernah reda dari gejolak. Ibarat bara api, wilayah ini kerap kali dikipasi berbagai pihak dengan berbagai kepentingan untuk kembali berkobar.
Ibarat makanan
enak, negeri ini selalu menjadi incaran. Ketika Islam masih berkuasa pun,
negeri ini sempat direbut oleh kaum Kristen Eropa dalam Perang Salib. Malah,
karena “perebutan” wilayah ini, perang tersebut harus berlangsung hampir 200
tahun (1096-1291). Perang ini adalah peperangan antara kaum muslimin dan kaum
Salib Eropa (Kristen Eropa).
Dengan mengumbar
semboyan “Begitulah kehendak Tuhan”, kaum Kristen Eropa
menyerbu wilayah Timur, negeri-negeri tempat kaum Muslimin berada. Tujuannya
untuk merebut Baitul Maqdis dari tangan kaum
muslimin dan mendirikan kerajaan
(kekuasaan) Kristiani di wilayah Asia—Afrika. Dengan segala keganasan dan
ketamakannya, kaum Kristen Eropa melampiaskan dendam, memuaskan nafsu
serakahnya serta mencari keuntungan duniawi dengan kedok agama.
Sementara penyebab
Perang Salib itu sendiri adalah ajakan dan seruan Kaisar Alexius Comenent dari
Konstantinopel kepada Paus Urbanus II, dan para raja di Eropa agar segera
menyerang negeri-negeri Islam secara serentak terhadap kekuasan Khilafah
Islamiyah di Turki, yang menurut mereka akan mengancam kekuasaan kerajaan
Byzantium di Konstantinopel.
Bagaimana kekejaman
yang dilakukan tentara Salib? Seorang orientalis, Gustave Le Bon, menceritakan
hal itu dalam bukunya, Hadlaratul Arab sebagai berikut:
“Ketika tentara Salib berhasil mengalahkan tentara Turki
Muslim, mereka memenggal semua kepala tentara Turki yang terluka dalam medan
tempur. Kemudian bangkainya diikat pada pelana kudanya, selanjutnya diseret ke
tempat pembuangan bangkai di seputar kota (Antiokia) itu.”
Sampai sekarang
pun, Palestina tak pernah sepi dari berbagai keributan dan kekisruhan.
Palestina, adalah negeri yang terkoyak. Kini, saudara-saudara kita di
Palestina, bukan saja harus melawan orang-orang Yahudi Israel, tapi juga harus
menelan pil pahit akibat tetangga-tetangganya (penguasa - penguasa negeri Arab) yang terkesan
“cuek” terhadap penderitaan mereka. Ketidakpedulian penguasa Arab lebih
disebabkan ketakutannya kepada Amerika. Belum lagi adanya beberapa kelompok
perjuangan di Palestina yang dikabarkan belum rukun.
Israel bak
kebakaran jenggot, begitu mengetahui warganya tewas akibat “bom syahid” dan
rudal-rudal pejuang Palestina. Sejak dulu, dengan alasan membela diri, musuh
Allah dan Rasul-Nya ini membalas serangan tersebut dengan menghujani kota
Yerusalem, sampai kini Jalur Gaza pun menjadi medan pembantaian mereka. Dengan
roket dan serangan udara, bahkan dengan bangganya, kaum zionis ini memamerkan
kekejian mereka lewat Youtube.
Sungguh serangan yang tidak sebanding. Jangankan dengan “bom syahid”, sekedar
melawan dengan batu pun langsung dibalas peluru, bagaimana tidak disebut
sebagai pembantai?
Di tengah aksi genocide
(pemusnahan) warga muslim Palestina, malah dunia internasional seakan
mendiamkan aksi brutalnya. Seolah menutup mata dan telinga mereka atas kejadian
itu. Apalagi Amerika, yang memang sekutu dekat Israel. Dulu, mantan Menlu AS
Colin Powell langsung sesumbar akan memboikot Konferensi Rasisme yang kemudian
diselenggarakan pada 31 Agustus -- 7 September 2001 di Durban, Afrika Selatan. Powell tidak
akan hadir dalam konferensi itu hanya gara-gara para diplomatnya tidak berhasil
menghilangkan bahasa anti-Israel dari acara. (Kompas, 28 Agustus 2001)
Pernah mantan presiden AS -- George W. Bush --
dengan berang berkomentar, “Kami tidak akan berpartisipasi dalam konferensi
yang mencoba untuk mengisolasi
Israel…..
pertanyaan mendasarnya adalah apakah Israel akan atau
tidak akan diperlakukan dengan hormat dalam konferensi itu.” Benar-benar
terlihat kekompakan mereka. Lalu bagaimana dengan Amerika yang ‘baru’? Amerika
yang memiliki pemimpin baru? Akankah ada perubahan bertanda positif ataukah
hanya mewarisi keegoisan ancestor-nya
terdahulu? Banyak pakar yang memperdebatkan hal ini, baik itu yang optimis
maupun yang pesimis. Namun, apa salahnya berharap?
Penderitaan selalu
rekat dengan rakyat Palestina. Sudah tanahnya dirampas, dijajah oleh Yahudi
Israel, ditambah diamnya dunia internasional (baca: PBB) melihat penderitaan
mereka. Walaupun kini, agaknya PBB sudah mulai bisa diharapkan, yang berakibat penarikan
pasukan Israel dari Gaza. Namun, (lagi-lagi namun), ‘anak nakal’ seperti Israel
pasti memiliki maksud terselubung selagi ‘mundur’.
Orang Yahudi, di
mana pun mereka berada selalu menjadi “benalu”. Mereka kaum yang tidak memiliki
tempat tinggal. Di Rusia sempat diuber-uber. Di Jerman, Hitler sangat “alergi”
dengan keberadaan mereka, sehingga ratusan ribu orang Yahudi dibunuh oleh NAZI.
Nenek moyang mereka, Bani Israil, selalu mengundang murka Allah. Suka membunuh
para nabi dan tidak menaati perintah Allah. Hingga akhirnya mereka diusir dari
kampung halamannya. Dan terlunta-luntalah bangsa ini di berbagai negara, dari
“gua” yang satu ke “gua” yang lain.
Namun ketika
Inggris “ikut campur” dalam urusan ini, Yahudi mulai mendapat angin. Lalu
keluarlah Deklarasi Balfour pada tahun 1917, yang kemudian memberi jalan
orang-orang Yahudi untuk dapat memiliki negara. Dan atas bantuan Inggris dan
juga AS, tahun 1948 mereka merampas tanah Palestina dari tangan kaum muslimin.
Yahudi sangat
membenci Islam. Mereka tak henti-hentinya membuat kaum muslimin menderita. Kaum
muslimin di Palestina adalah sebagian dari ‘tubuh’ kita, bukankah jika saudara
kita muslimin terluka, maka kita pun ikut merasakan sakitnya?? Sungguh, Yahudi
Israel ini telah menyakiti seluruh kaum muslimin di dunia dengan kelakuan
mereka di Palestina. Allah Swt. Menggambarkan sikap mereka dalam firman-Nya:
“Sesungguhnya kamu dapati orang-orang yang paling keras
permusuhannya terhadap orang-orang yang beriman ialah orang-orang Yahudi dan
orang-orang musyrik.” (QS
al-Mâidah [5]: 82)
Inilah saatnya kaum muslimin bersatu, mempertegas garis-garis dakwah
islamiyyah ke segala penjuru, mengajak kaum muslimin ke berbagai negeri,
khususnya di Indonesia, untuk kembali kepada sunnah nabawiyyah, kepada peninggalan salafusshalih, menggaungkan
syariat dalam peri-kehidupan sehari-hari.
Ribuan muslimin telah gugur di jalur Gaza (ghoza=perang), kita
sedih akan kenyataan ini, tidak dipungkiri bahwa pembantaian ini adalah
bencana. Walaupun pada hakikatnya ada kebahagiaan bagi mereka yang telah gugur
sebagai syuhada, tiada kegundahan bagi mereka yang telah menyimbahkan darahnya
di medan jihad (dalam konteks peperangan fisik melawan kuffar). Maka muncullah aksi unjuk rasa di sana-sini. Akan
tetapi, ada bencana yang jauh lebih mengancam kaum muslimin, ‘penjajahan’, ‘perbudakan’ dan ‘pembantaian’ yang tidak pernah didemo
oleh ormas Islam manapun.
Dalam satu hari, belasan atau puluhan syuhada gugur di padang Gaza, namun
coba hitung, dalam satu hari di kota Jakarta saja, berapa jumlah orang Islam
yang tidak melaksanakan Sholat Shubuh? Belasankah? Puluhankah? Tidak! Ada
ratusan bahkan ribuan! Lalu berapa dengan seluruh Indonesia?
Seluruh dunia? Belum lagi kaum muslimah yang masih menampakkan auratnya, atau
orang Islam yang tidak bisa membaca Alquran sama sekali? Inilah ‘penjajahan’ kebodohan, ‘perbudakan’ duniawi, ‘pembantaian’ akidah, yang menjauhkan muslimin
dari syariat, dari majelis ilmu, dari masjid.
Kita bangga dengan saudara-saudara
kita yang dengan sukarela terjun langsung di medan pertempuran di Palestina,
namun jangan sampai kita lupa untuk berjihad di tanah air kita sendiri, yakni
dengan kembali menancapkan sendi–sendi syari’atul
muthohharoh (syariat yang suci) dan akhlaq nabawiyyah di dalam hati
masyarakat, sehingga nantinya masyarakat akan (dengan sendirinya) benar-benar
menerima syariat Islam sebagai pijakan yang kokoh dan kemudian siap secara mental untuk menghadapi kaum kuffar di ‘medan
laga’ yang sebenarnya…
0 Response to "Kisah terkoyak negeri Palestina"
Post a Comment