ETIKA DALAM MENYAMPAIKAN DAKWAH
Semangat dalam berdakwah dan ber-amar-makruf-nahi-munkar merupakan nilai akhlak yang agung disisi Allah Ta’ala, karena dengan semua itu eksistensi agama ini bisa tegak, hanya untuk itulah Allah swt. mengutus para utusan dan nabi-Nya. Seandaianya tidak ada semangat dakwah yang dilakukan oleh para dai dan ulama di sepanjang masa, niscaya agama ini hanya akan menjadi sebuah cerita dalam catatan historis anak cucu Adam.
Pemuda yang hatinya cenderung untuk mengajak kebajikan dan mencegah kemungkaran adalah sosok pemuda mulia di sisi Tuhannya, dan dia termasuk golongan orang-orang yang beruntung sebagaimana telah dijelasakan dalam al-Quran disurat Al-Imran ayat 104,
“dan hendaknya
ada diantara kalian golongan yang menyeru pada kebaikan, memerintah pada
kebajiakan dan mencegah kemungkaran, merekalah orang-orang yang beruntung.”
Hanya saja
kadang seorang muslim yang begitu bersemangat di dalam membela
Islam terjebak untuk membela jati diri dan hawa nafsunya ketika misi dakwahnya
berbenturan dengan orang lain, sehingga Islam yang sifatnya agung dan universal
menjadi sebuah pemikiran dan misi yang ada pada dirinya. Ketika hal ini terjadi, berarti dia
bukan membela Islam, akan tetapi
lebih cenderung membela
misi dan pribadinya. Di sinilah letak permasalahan yang dialami
oleh para aktifis dakwah ketika berseteru dalam menanggapi masalah-masalah keagamaan, sehingga
benturan pemikiran dan fisik kerap terjadi di kalangan
ormas-ormas keagamaan.
Dan tidak
sedikit yang memakan korban gara-gara semua ini. Masalah Ahmadiyah yang
berujung pada insiden Monas misalnya, adalah salah satu contoh
dari permasalahan ini, dan masih akan timbul masalah yang kedua dan yang ketiga
yang semuanya akan memakan korban dengan atas nama Agama Islam, agama
yang membawa kasih sayang.
Hal ini terjadi, menurut pemikir besar Islam Dr. Muhammad Sa’id Ramdhan al-Buthi, gara-gara para aktifis dakwah melupakan etika dakwah yang sebenarnya, menurutnya ada tiga hal yang harus dipahami oleh para aktifis.
PERTAMA
Hal ini terjadi, menurut pemikir besar Islam Dr. Muhammad Sa’id Ramdhan al-Buthi, gara-gara para aktifis dakwah melupakan etika dakwah yang sebenarnya, menurutnya ada tiga hal yang harus dipahami oleh para aktifis.
PERTAMA
Dia harus
memahami bahwa gerakan dan aktifitas dakwah yang sedang ia lakukan, pada
hakekatnya adalah bentuk pengabdian seorang hamba pada Tuhannya, dia melakukan semua ini demi
menggapai keridhoan-Nya. Pekerjaan yang dia lakukan bukan karena
tuntutan hawa nafsu, bukan karena kepentingan pribadi atau
kelompoknya dan bukan untuk menghancurkan atau mengalahkan kelompok lain,
dan berharap untuk masuk didalam golongan yang disifati oleh Allah dengan
firmanya,
“dan siapa yang
lebih baik perkataanya, daripada orang-orang yang mengajak pada
Allah dan beramal baik serta berkata aku termasuk orang-orang yang
pasrah.” al-Fusshilat ; 33.
KEDUA
Kalau kita masih belum memahami atau sulit untuk melaksanakannya, maka kita harus kembali pada tujuan pokok adanya agama ini. Bukankah perintah dan larangan-larangan Allah diturunkan sebagai bentuk kasih sayang Allah pada semua hamba-hamba-Nya?
Perhatikan apa
yang disampaikan oleh seorang ulama besar, Syaikh Izzuddin bin Abdissalam; “Kita tidak akan
menemukan di setiap apa yang Allah turunkan berupa
perintah atau larangan selain hal yang membawa kemaslahatan atau hal yang
mencegah kerusakan manusia itu sendiri.”
Selanjutnya
kalau diperhatikan secara seksama akan terutusnya para nabi dan rasul maka kita
akan menemukan dengan jelas bahwa semua itu dilakukan oleh Allah sebagai bentuk
dari penghormatan Allah dan kasih sayangnya kepada hamba-hamba-Nya. Bukankah Ia
yang berfirman tentang Rasulullah SAW; “Aku tidak mengutusmu melainkan sebagai Rahmat untuk alam
semesta.”
Kalau semua ini masih belum bisa diterima oleh seorang dai, maka lihatlah bagaimana pribadi sebaik-baik dai, yaitu Rasulullah SAW, dalam berdakwah dan beramar makruf nahi mungkar!
Beliau sama sekali tidak pernah mewarnai aksi-aksinya dengan kekerasan. Perhatikanlah kasus Thaif, beliau bila diminta untuk mendoakan seseorang beliau selalu mendokan dengan rahmat, pengampunan dan hidayah, meskipun yang didoakan adalah orang kafir atau orang yang memusuhinya.
Kalau semua ini masih belum bisa diterima oleh seorang dai, maka lihatlah bagaimana pribadi sebaik-baik dai, yaitu Rasulullah SAW, dalam berdakwah dan beramar makruf nahi mungkar!
Beliau sama sekali tidak pernah mewarnai aksi-aksinya dengan kekerasan. Perhatikanlah kasus Thaif, beliau bila diminta untuk mendoakan seseorang beliau selalu mendokan dengan rahmat, pengampunan dan hidayah, meskipun yang didoakan adalah orang kafir atau orang yang memusuhinya.
Ketika seorang
sahabat datang dan berkata kepada beliau, “Ya Rasulallah sesungguhnya kaum Daus telah
berpaling dan ingkar pada kita, maka doakanlah mereka (agar binasa). Rasulullah
mengangkat tangan seraya berdoa Ya Allah berikanlah hidayah pada kaum Daus dan
datangkanlah pada kami dalam keadaan beriman.” Itulah sikap Rasulullah sendiri, belum lagi
sabda dan anjurannya mengenai kasih sayang dan perdamaian.
Peperangan dan Kekerasan dalam Islam
Lihatlah kembali
latar belakang peperangan yang terjadi di masa Rasulullah! Para ulama dan fuqaha telah menetapkan bahwa hukum asal
dalam berdakwah adalah dengan kasih sayang dan perdamaian, sedangkan peperangan
dan kekerasan dilakukan dalam keadaan darurat, yang oleh para fuqaha
distilahkan dengan khilaful ashl.
Dan rahmat itu
sendiri dalam keadaan tertentu memang menuntut adanya perang. Namun, peperangan dan
kekerasan hanya bisa dilakukan ketika kaum muslimin sudah mempunyai kekuatan (Syaukah), seperti ketika Rasulullah
setelah hijrah ke Madinah, sebelum itu sedikitpun Rasulullah tidak pernah melakukan
aksi yang bersifat fisik.
Semua itu
ketika berhadapan dengan orang kafir yang menentang atau menghalangi Dakwah Islamiah, itupun
hanya boleh diputuskan oleh imam yang sah. Sedangkan peperangan antara sesama
kaum muslimin itu hanya boleh dilakukan bila ada satu kelompok yang menentang
pada sebuah pemerintahan yang sah, itupun setelah melalui beberapa proses.
Itulah ketentuan umum boleh dan tidaknya seorang dai melakukan aksi fisik dalam
dakwahnya.
Adapun masalah memukul, melukai atau menyakiti sesama muslim, islam mempunyai aturan-aturan yang jelas, seperti pemukulan yang dilakukan oleh seorang imam yang menta’zir (menghukum) rakyatnya dengan tujuan agar lebih baik, qishosh itupun setelah melalui proses panjang, seorang guru yang mendidik muridnya itupun dengan syarat tidak melukai atau membuatnya patah. Pemukulan yang dilakukan diluar itu maka hukumnya haram. Apapun bentuk dan alasannya.
Adapun masalah memukul, melukai atau menyakiti sesama muslim, islam mempunyai aturan-aturan yang jelas, seperti pemukulan yang dilakukan oleh seorang imam yang menta’zir (menghukum) rakyatnya dengan tujuan agar lebih baik, qishosh itupun setelah melalui proses panjang, seorang guru yang mendidik muridnya itupun dengan syarat tidak melukai atau membuatnya patah. Pemukulan yang dilakukan diluar itu maka hukumnya haram. Apapun bentuk dan alasannya.
Jadi kekerasan dan tindakan anarkis sama sekali tidak mencerminkan ajaran islam. Dari itu Rasulullah SAW bersabda “Lemah lembut pasti akan menyeimbangkan setiap perkara.”
KETIGA
Seorang dai harus meyakini
bahwa dakwah yang sedang dia jalani hanyalah melaksanakan kewajiban yang
dibebankan oleh Allah kepada hambanya-hamba-Nya. Dalam artian: seorang dai tidak
mempunyai kemampuan untuk memberi hidayah, tidak pula mengubah sebuah sistem
kemasyarakatan seperti yang dia kehendaki dan tidak pula menunggu sebuah hasil
dari apa yang dia kerjakan.
Akan tetapi dia
hanya berusaha mengajak manusia ke jalan Allah sesuai dengan apa yang
disyariatkan oleh Allah. Adapun hasilnya dia pasrahkan kepada Allah. Hal ini
bukan berarti kita tidak mempunyai target atau strategi, akan tetapi kita harus
menyadari bahwa target utama kita adalah keridhaan Allah. Sehingga seorang dai tidak
terkesan memaksakan kehendak yang bukan dalam kemampuannya.
Al-Musnid Al-Habib Umar Bin Hafidz (Darul Musthafa, Tarim,
Hadhramaut) dalam salah satu ceramahnya juga pernah
berkata, “Tugas dai sejati
adalah menanam dengan sebaik mungkin, sedangkan tumbuh dan hasilnya dipasrahkan
kepada Allah.”
Hal ini harus
diperhatikan oleh seorang aktifis, sebab tidak sedikit dari aktifis islam yang
kurang memperhatikan masalah ini, sehingga mereka berusaha melaksanakan sesuatu
yang bukan tugasnya bahkan kadang berlanjut pada hal yang tidak semestinya
dilakukan. Disnilah letak masalah yang kerap membawa konflik antara ormas islam
dengan pemerintah atau ormas sesama ormasnya. Apalagi kadang memaksakan kehendak
dengan segala cara yang jelas membahayakan agama dan Negara, seperti meminta
bantuan pihak asing dan semacamnya.
Disadur dari tulisan As-Sayyid Hamid Ja’far al-Qadri
peneliti di
Lembaga Kajian Islam al-Ghanna,
Jakarta
Teladan Keluarga Baginda Nabi
Hari
itu, seorang dai muda keturunan Rasulullah saw. dari tanah Hadhramaut, Yaman,
yakni Al-Habib ‘Ali Zainal ‘Abidin Al-Jufri, sedang rihlah dakwah,
bertandang ke Denmark, mengadakan pertemuan dengan Kurt Westergaard, penggambar
karikatur Baginda Nabi Muhammad saw.
Setelah
lama berbincang, Kurt tampak heran dengan sikap Habib ‘Ali Al-Jufri -seorang
pemuda berjenggot lebat rapi menutupi leher, tak berkumis, memakai jubah dan imamah
serta surban, wajahnya putih dan tampan, tinggi besar, berperawakan persis seperti orang yang
dioloknya dengan karikatur- tidak keluar
sedikitpun dari mulutnya kata-kata kasar sebagaimana sering dilontarkan Umat
Islam lewat media.
“Tuan,
apakah Anda tidak marah atas apa yang telah saya lakukan? Padahal orang muslim
di luar sana tampak sangat ingin memancung saya..”, tanya Kurt.
“Jika
Rasulullah, orang yang Anda olok-olok itu masih hidup dan menyaksikan apa yang
Anda perbuat, saya yakin, beliau pun tidak akan marah. Saya paham, Anda berbuat
hal itu karena Anda tidak mengenal pribadi Rasulullah, jika Anda mengenal
beliau yang teramat mulia, Anda pun tak akan pernah terpikir untuk melakukan
hal itu.” Jawab Habib ‘Ali.
0 Response to "ETIKA DALAM MENYAMPAIKAN DAKWAH"
Post a Comment