Recent Posts

IJTIHAD, TAKLID , ITBA’ DAN TALFIQ



A.    Pengertian Ijtihad

Ijtihad artinya mencurahkan segala kemampuan intelektual untuk memperoleh hukum syara' dari dalil-dalilnya.
Menurut ahli Ushul Fiqh ijtihad berarti mencurahkan segenap kesanggupan mujtahid dalam mendapatkan syara' amali dengan satu metode. Pengertian demikian didasarkan pada kenyataan yang dihadapi kaum muslimin sejak masa Nabi.
Di masa Nabi, orang mengharapkan informasi ketentuan agama dari wahyu, baik dari Al-Qur'an maupun al-Sunnah. Jika tidak, maka Al-Qur'an memberikan arahan agar kaum muslimin melakukan istinbath, yaitu memahami dari penjelasan Rasul dan Ulil Amri. (An-Nisa’: 83).[1]
وَإِذَا جَاءَهُمْ أَمْرٌ مِنَ الْأَمْنِ أَوِ الْخَوْفِ أَذَاعُوا بِهِ وَلَوْ رَدُّوهُ إِلَى الرَّسُولِ وَإِلَى أُولِي الْأَمْرِ مِنْهُمْ لَعَلِمَهُ الَّذِينَ يَسْتَنْبِطُونَهُ مِنْهُمْ وَلَوْلَا فَضْلُ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهُ لَاتَّبَعْتُمُ الشَّيْطَانَ إِلَّا قَلِيلاً (النساء: 83)
Artinya:  “Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri diantara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan Ulil Amri). Kalau tidaklah karena karunia dan rahmat Allah kepada kamu, tentulah kamu mengikut syaitan, kecuali sebahagian kecil saja (di antaramu)”. (QS. An-Nisa’: 83).
Syari'at Islam merupakan syari'at yang mengandung berbagai keistimewaan, antara lain bersifat umum, abadi, meliputi segala bidang dan merupakan rahmat bagi seluruh alam. Al-Qur'an merupakan dasar hukum.
Atas dasar itulah Allah memberikan hak kepada orang-orang yang memiliki kemampuan melakukan ijtihad bila terdapat masalah-masalah yang tidak shahih atau ditetapkan bila terdapat masalah-masalah yang tidak shahih atau ditetapkan secara tidak jelas dan tidak pasti (qath’i) di dalam Al-Qur'an.

B.     Penggunaan Istilah Ijtihad

Kata ijtihad digunakan para fuqaha untuk beberapa persoalan rumit dan sulit yang membutuhkan banyak energi. Ijtihad tidak dipergunakan untuk melakukan yang ringan-ringan.[2]
Beberapa ulama ahli Ushul Fiqh menyebutkan:
1.      Menurut Imam Al-Syaukani, ijtihad adalah mencurahkan kemampuan guna mendapatkan hukum syara' yang bersifat operasional dengan cara istinbath (mengambil kesimpulan hukum).
2.      Menurut Al-Imam Amidi mendefinisikan ijtihad adalah mencurahkan segala kemampuan untuk mencari hukum syara' yang bersifat zhanni sampai dirinya merasa tidak mampu mencari tambahan kemampuannya itu.
Kata-kata tidak mampu mencari tambahan kemampuannya menurut Imam Ghazali berlaku bagi kata ijtihad yang sempurna.

C.    Dasar Ijtihad

Dasar hukum diperbolehkannya melakukan ijtihad antara lain firman Allah SWT. dalam surat Al-Baqarah: 149:
وَمِنْ حَيْثُ خَرَجْتَ فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ ... (البقرة: 149)
Artinya:  “Dan dari mana saja kamu ke luar, maka palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram…”. (QS. Al-Baqarah: 149).
Dari ayat tersebut di atas dapat dipahami bahwa orang yang berada jauh dari Masjidil Haram, apabila akan shalat dapat mencari dan menentukan arah kiblat melalui ijtihad dengan mencurahkan akal pikirannya berdasarkan indikasi atau tanda-tanda yang ada.[3]
Baik yang mendudukkan “ijtihad” sebagai dalil maupun sebagai pemahaman terhadap dalil, penggunaan ijtihad ini didasarkan pada ayat-ayat Al-Qur'an surat An-Nisa’ ayat 59:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلاً (النساء: 59)
Artinya:  “Hai orang-orang yang beriman, ta`atilah Allah dan ta`atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”. (QS. An-Nisa’: 59).

Menurut hadits Nabi yang diriwayatkan Al-Bukhari:
Artinya:  “Jika seorang hakim menetapkan hukum, kemudian ia berijtihad lagi benar ijtihadnya, maka ia mendapatkan dua pahala. Dan apabila ia menghukumi dengan ijtihad kemudian ijtihadnya itu salah baginya mendapatkan satu pahala”. (HR. Bukhari).[4]

D.    Kedudukan Ijtihad

Dalam hal kedudukan ijtihad ini di kalangan ahli Ushul Fiqh memang ada perbedaan pendapat, sebagian besar menjadikan ijtihad itu sebagai dalil, sedang sebagian yang lain menjadikan menjadi dalil dalam keadaan sangat dihajatkan pada waktu tidak didapati ayat Al-Qur'an atau as-Sunnah. Sebagian ahli Ushul Fiqh lagi, ijtihad itu merupakan metode pemahaman terhadap sumber pokok (dalil) yakni Al-Qur'an dan as-Sunnah.
Kawasan ijtihad adalah hukum-hukum yang dalilnya dhanni bukan yang qath’i. Kita tidak boleh berijtihad dalam hukum yang qath’i yang telah ditetapkan dalilnya oleh Al-Qur'an.
Agar ijtihad berhasil secara optimal ada beberapa syarat yang harus dimiliki seorang mujtahid:
1.      Seorang mujtahid hendaknya memiliki kemampuan dan seperangkat ilmu untuk berijtihad yang telah ditetapkan dalam Ushul Fiqh.
2.      Dia seorang yang adil, terpercaya dan berperilaku baik.
3.      Mereka yang mengaku bisa berijtihad, tetapi tidak mempunyai ilmu tentang nash-nash Al-Qur'an dan hadits serta melecehkan Ushul Fiqh, maka pendapatnya harus ditolak.[5]

E.     Ruang Lingkup Ijtihad

Imam Al-Ghazali berpendapat ijtihad dilakukan pada setiap hukum yang tidak ada dasarnya yang pasti (qath’i).[6] Hal ini sebagaimana firman Allah SWT.:
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا مُبِينًا (الأحزاب: 36)
Artinya:  “Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mu'min dan tidak (pula) bagi perempuan yang mu'min, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata”. (QS. Al-Ahzab: 36).
وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيرًا (النساء: 115)
Artinya:  “Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mu'min, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasinya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali”. (QS. An-Nisa’: 115).

F.     Jenis-jenis Ijtihad

  1. Individu, yaitu dilakukan secara sendiri
  2. Kolektifitas, yaitu dilakukan secara kelompok.

Ijtihad Kolektif (Al-Ijtihad Al-Ijma’i)
Ijtihad kolektif adalah sesuatu yang penting karena adanya tuntutan zaman, problem-problem yang terkait dan perselisihan berbagai madzhab. Tentang permasalahan ini, Dr. Wahbah Az-Zuhayl, Dekan Fakultas Syari'at Damaskus, mengatakan: “Saat ini, ada kebutuhan mendesak terhadap apa yang disebut dengan ijtihad kolektif. Ijtihad ini dilakukan melalui metode musyawarah ilmiah di antara para tokoh ulama dari berbagai negara dan dari berbagai madzhab Islam di dalam suatu lembaga ilmiah ataupun muktamar fiqh. Tujuannya adalah untuk menelitu berbagai problematika modernitas dan berbagai hal yang dibutuhkan oleh umat, sehingga mereka bersepakat terhadap hal-hal yang dipandang dapat menghasilkan kemaslahatan”.
Atas dasar itu, akan tampak di dalam kenyataan, bahwa ijtihad merupakan gerakan pemikiran tentang hukum-hukum agama yang disyari'atkan demi kemaslahatan umat.
Nabi Muhammad memberikan petunjuk di seputar masalah ijtihad kolektif ini dengan jalan mengumpulkan seluruh ulama dan saling tukar pendapat di antara mereka. Diriwayatkan dari Malik bin Anas, dari Yahya bin Sa’id al-Anshari, dari Sa’ad bin Al-Musayyab, dan dari Ali bin Abi Thalib yang berkata, “Ya Rasulullah, kami menghadapi perkara yang tidak ada hukumnya di dalam sunnah”. Rasul menjawab, “Ber-ijma’lah tentang persoalan itu di kalangan orang-orang berilmu atau mereka yang taat beribadah dari kalangan kaum mukmin. Bermusyawarahlah di antara kalian tentang urusan itu dan janganlah memutuskannya berdasarkan pendapat seseorang saja”.
Demikian pula cara Khulafaur Rasyidin, sebab di tengah-tengah mereka, terdapat majelis syura’ umum di samping majelis syura’ khusus. Mereka adalah para tokoh yang sering mengemukakan pendapat, sehingga mereka bermusyawarah di dalam perkara-perkara penting.
Cara bermusyawarah secara ilmiah dan pengambilan hukum dari dalil-dalil yang ada bersandar pada dua hal: Ushul Fiqh dan kaidah-kaidah fiqh universal. Kaidah-kaidah fiqh ditegaskan di atas pemahaman terhadap berbagai tujuan syari'at, tujuan-tujuan syari'at ditegakkan di atas tinjauan terhadap berbagai kemaslahatan, dan kemaslahatan dipandang dari segi syari'at bukan dengan hawa nafsu manusia.
Namun harus diingat bahwa kesepakatan bersama dalam suatu masalah jangan sampai membatasi seseorang yang mampu berijtihad secara individual untuk mengeluarkan pendapatnya, bila ternyata hasilnya berbeda dengan apa yang telah disepakati. Harus pula diwaspadai agar jangan sampai terjadi kekacauan dan kebingungan masyarakat karena banyaknya pendapat produk “ijtihad” yang tidak bertanggung jawab.

G.    Ittiba’

Ittiba’ ialah menerima perkataan orang lain dengan mengetahui sumber atau alasan perkataan tersebut. Ittiba; dalam agama diperintahkan. Firman Allah SWT. QS. An-Nahl: 53:
فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ. بِالْبَيِّنَاتِ وَالزُّبُرِ
Artinya:  “Tanyakan kepada ahli dzikir (orang-orang pandai) jika kamu tidak mengetahui”.

H.    Taqlid

Taqlid secara bahasa berarti menggantungkan. Sedangkan menurut istilah mengikuti pendapat orang lain tanpa mengetahui sumber atau alasannya.
قبول قول القائل وانت لا تعلم من أين قاله
Dalam aspek fiqh taqlid itu dianggap tercela dan terlarang. Hal ini sebagaimana firman Allah QS. Al-Baqarah: 120, Al-Maidah: 10, At-Taubah: 31





[1]   Prof. Drs. H. Asjmuni Abdurrahman, Manhaj Tarjih Muhammadiyah (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), 104.
[2]   Abdurrahman Wahid, Kontroversi Pemikiran Islam di Indonesia (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1993), 5.
[3]   Khairul Umam dan A. Achyar Aminuddin, Ushul Fiqh II (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2001), 132.
[4]   Prof. Drs. H. Asjmuni Abdurrahman, Manhaj Tarjih Muhammadiyah (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), 192-193.
[5]   Al-Qardhawi, Membumikan Syari'at Islam (Surabaya: Dunia Ilmu, 1997).
[6]   Imam Al-Ghazali, Al-Mustafa Juz. 2, 354.

0 Response to "IJTIHAD, TAKLID , ITBA’ DAN TALFIQ"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel